Selasa, 24 November 2015

sejarah perkembangan sosiologi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.                  Latar Belakang

Perkembangan Sosiologi merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat manusia. Kehidupan masyarakat manusia yang dinamis ditandai dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya yang secara jelas dapat terlihat melalui berbagai benda hasil budaya dan aktivitas-aktivitas kehidupannya. Perubahan sosial budaya yang dialami manusia dapat dijelaskan sebagai proses penyesuaian hidup manusia dengan konstelasi yang ada, perubahan sosial dapat dipandang sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebutuhan materil, komposisi penduduk, ideologi, dan  penemuan-penumuan baru dalam masyarakat tersebut.
Perubahan yang dialami manusia bukanlah suatu penyimpangan, karena pandangan tersebut adalah suatu mitos yang perlu dihilangkan dari pandangan mengenai perubahan.Setiap perubahan sosial selalu mencakup pula perubahan budaya, dan perubahan budaya akan mencakup juga perubahan sosial. yang dalam pengembangannya mengandalkan realita yang terjadi di dalam masyarakat, berkaitan dengan masalah sosial yang perlu diselesaikan (pandangan awal perkembangan) dan penyesuaian kebutuhan dengan sumber daya yang ada (pandangan hasil perkembangan). Realita dalam masyarakat yang terus mengalami perubahan memiliki dimensi perubahan sosial. Sementara itu, secara keilmuan, pengembangan kajian, penelitian, baik melalui hasil kerja lapangan (penelitian dan proyek), maupun melalui berbagai kegiatan seminar dan diskusi.

1.2.                  Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Sosiologi ?
2.      Pokok-Pokok Bahasan Sosiologi ?
3.      Pengertian Sosialisasi Dari para Ahli Sosiologi ?
4.      Pengertian Jenis Kelamin dan Gender ?
                           
1.3.                  Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Sosiologi dan Sosialisasi serta Prakteknya dalam perkembangan kehidupan manusia.
                                             




BAB II
PEMBAHASAN

2.1.                  Sejarah Perkembangan Sosiologi
Menurut Berger dan Berger pemikiran Sosiologi berkembang manakala Masyarakat menghadapi ancaman  terhadap hal yang selama ini dianggap sebagai hal yang memang sudah seharusnya demikian, benar, nyata. yang oleh Berger dan Berger disebut threats to the taken-for-grented world. Manakala hal yang selama ini menjadi pegangan Manusia mengalami krisis, maka  mulailah orang melakukan renungan sosiologi.
L. Laeyendecker pun mengaitkan kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan berjangka panjang yang melanda Eropa Barat di Abad pertengahan. Proses perubahan  jangka panjang yang di identifikasi laeyendecker ialah :
1.      Tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15.
2.      Perubahan di bidang Sosial dan Politik.
3.      Perubahan berkenaan dengan repormasi Martin Luther.
4.      Meningkatkan Individualisme.
5.      Lahirnya ilmu pengetahuan modern.
6.      Berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.

Ø Para Perintis Sosiologi                                        
Biasanya para ahli sosiologi membedakan antara para perintisawal yang hidup pada abad ke-18 dan 19, dan para tokoh sosiologi masa kini yang hidup di abad ke-20. Orang yang oleh Lewis Coser dianggap sebagai pemuka pemikiran sosiologi masters of sociological thought ialah Saint-Simon, Comte, Spencer, Durkheim,Weber, Marx, Sorokim, Mead, cooley. Doyle Paul Johnson menyebutkan Comte, Marx, Durtheim, Wiber, Simmel sebagai tokoh sosiologi klasik (classical Founders) dan orang seperti Mead, Gopffman, Homans, Thibaut dan Kelly, Blau, Parsons, Merton, Mills, Dahrendorf, Coser, Collins sebagai penganut perspektif masa kini.
Dalam kajianya terhadap sejarah sosiologi L Laeyendecker menyebutkan nama sejumlah tokoh sosiologi seperti Saint-Simon, Comte, Spencer, Marx, Durkheim, Weber, Mannheim,  Cooley, Thomas, Mead, Alex Inkeles berpendapat bahwa perintis utama sosiologi terdiri atas Comte, Spencer, Durkheim, danWeber.
Ø Auguste Comte (1798-1857)
Nama “sosiologi” memang merupakan hasil ciptaan Comte, suatu gabungan antara kata Romawi socius dan kata yunani logos.
Salah satu sumbangan penting lain bagi soosiologi, sebagaimana telah di kemukakan Reiss, ialah suatu falsafat yang mendorong perkembangan sosiologi. Pemikiran ini di utarakan Comte dalam bukunya : Course de Philosophie Positive. Dalam buku ini Comte menggemukakan pandangannya mengenai  hukum kemajuan manusia” atau “hukum tiga jenjang”. Menurut pandangan ini , sejarah manusia akan melewati tiga jenjang yang mendaki: jenjang teologi, jenjang metafisika, dan jenjang fositif.  Pada jenjang yang pertamama manusia mencoba  menjelaskan gejala disekitarnya yang mengacu pada hal yang bersifat adikodrati, jenjang yang kedua manusia mengacu pada kekuatan meta fisik  atau abstrak, dan pada jenjang yang ketiga atau terakhir,jenjang positif, penjelasan gejala alam atau sosial dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah dan didasarkan pada hukum ilmiah.
Suatu pandangan menarik dari Comte ialah bahwa sosiologi menurutnya merupakan “Ratu ilmu-ilmu sosial. Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah bagaimana sosiologi kedalam dua bagian besar yaitu:
1.      Statika sosial (social statics) kajian terhadap tatanan sosial.
2.      Dinamika sosial (social dynamics) kejian terhadap kemajuan dan perubahan sosial.

Ø Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx lahir di trier, Jerman pada tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi. Pada tahun 1841. Ia mengikuti studinya di  Universitas Berlin dengan menyelesaikan disertasi berjudul On the Diffferences between the Natural Philosophy of Democritus and Epicurus.
Sumbangan utama Marx bagi sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas yang di sajikannya berbagai tulisan termasuk di dalamnya The Communist Manifesto yang di tulisnya. Bersama Friedrich Engels. Marx berpandangan bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Menurut Marx perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda : kelas yang terdiri atas orang orang yang menguasai alat produksi, yang dinamakan kaum bourgeoisie, yang mengeksploitasi kelas yang terdiri atas orang yang tidak memiliki alat produksi, yaitu kaum proletar, menurut Marx pada suatu saat kaum proletar akan menyadari kepentingan bersama mereka sehingga bersatu dan memberontak. Dan dalam konflik yang kemudian berlangsung yang oleh Marx dinamakan perjuangan.
Ø Emile Durkheim (1858-1917)
Durkheim merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif, Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan antara  dua tipe utama solidaritas : soolidaritas mekanik, dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan atas persamaan , menurut Durkheim solidaritas mekanik di jumpai pada masyarakat yang masih sederhana , masyarakat yang dinamakan “segmental” pada masyarakat seperti ini belum terdapat pembagian kerja yang berarti : apa yang dapat dilakukan oleh seorang anggota masyarakat biasanya dapat dilakukan pula oleh orang lain, dengan demikian tidak terdapat kesalingtergantungan antara kelompok berbeda, karna masing masing kelompok dapat memenuhu kebutuhannya sendiri dan masing-masing kelompok pun terpisah satu dengan yang lainya. Tipe solidaritas yang didasarkan atas kepercayaan dan setia  kawan ini  di ikat oleh apa yang oleh Durkheim dinamakan conscience collective, suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.
Ø Max Weber (1864-1920)
Max Weber lahir di Jerman pada tahun 1864. Ia belajar ilmu hukum di Universitas Berlin dan Universitas Heidelberg, dan pada tahun 1889 menulis disertasi berjudul A Contribution to the History of Medieval Business Organizations.Sumbangan Weber yang tidak kalah pentinganya ialah kajiannya konsep dasar sosiologi. Dalam uraian ini Weber menyebutkan pula bahwa sosiologi ialah ilmu yang berupaya memehami tindakan sosial ini nampak dari definisi berikut ini : Sociology is a science whith attempts the interpretive understanding of social action in order thereby to arrive at a casual explanation of its course and effects.
Arti penting tulisan ini ialah bahwa dikemudian hari tulisan ini menjadi acuan bagi dikembangkannya teori sosiologi yang membahas interaksi sosial. Namun yang perlu juga di kemukakan di sini ialah bahwa pendekatan sosiologi yang diusulkan Weber dalam tulisan ini ternyata tidak menjadi tuntunan baginya untuk melihat masyarakat. Tulisan Weber yang lain seperti bukunya mmengenai Etika Protestan dan Semangat kapitalisme, mengenai Agama Tionghoa dan sebagainya tidak difokuskan pada interaksi sosial, melainkan pada masalah berskala besar dan berjangka panjang yang menyangkut masyarakat serta hubungan antar kelompok dan antar kelas yang terjadi di dalamnya.
2.2.                  Pokok-Pokok Bahasan Sosiologi
Pandangan Para Perintis
Ø Entile Durkheim : Fakta Sosial
Emile Durkheim berpendapat bahwa sosiologi ialah salah satu Ilmu yang mempelajari fakta sosial (fait sosial). Menurut Durkheim fakta sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya.
Ø Max Weber : Tindakan Sosial
Menurut Weber tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dillakukan dengan mempertimbangkan prilaku orang lain, dan berorientasi pada prilaku orang lain.
Contoh : Menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri sendiri, misalnya, itu tidak dapat kita anggap sebagai tindakan sosial. Tapi menyanyi di kamar mandi dengan maksud menarik perhatian orang lain memang meruupakan tindakan sosial.
Pandangan Ahli Sosiologi Masa Kini
Ø C. Wright Mills : The Sociological Imagination
C Wright Mills berpandangan bahwa untuk dapat memahami apa yang terjadi di dunia maupun apa yang ada dalam diri sendiri manusia memerlukan apa yang dinamakannya imajinasi sosiologi (sociological imagination). Menurut Mills sociological imagination ini  akan memungkinkan kita untuk memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya.
Ø Peter Berger
Sosiologi ialah seseorang yang suka bekerja dengan orang lain, menolong orang lain, melakukan sesuatu untuk orang lain. Menurut Berger seorang ahli sosiologi bertujuan memahami masyarakat.



2.3.                  Sosialisasi

Ø Pengertian Sosialisasi
Peter L. Berger mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain. Berbeda dengan makhluk lain yang seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya. Sementara hewan tidak perlu menentukan misalnya apa yang harus dimakannya karena hal itu sudah diatur naluri; manusia harus memutuskan apa yang harus dimakannya dan kebiasannya yang harus selalu ditegakkannya. (Sunarto, 1993:27). Karena keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan kelompok lain, maka kemudian dijumpai keanekaragaman kebiasaan dalam soal makanan. Ada kelompok yang makanan pokoknya nasi, roti, sagu, jagung. Kalau hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling berhubungan karena naluri, sementara manusia mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian menghasilkan berbagai macam sistem pernikahan yang berbeda satu sama lain. Kemudian keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut, baik dalam bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama, politik dan sebagainya haris dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi.
Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society”. (proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat). Wright mendefinisikan sosialisasi sebagai proses ketika individu mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan menginternalisasikan (sampai tingkat tertentu) norma-norma sosialnya, sehingga membimbing orang itu untuk memperhitungkan harapan-harapan orang lain.(Wright, 1988:182). Sosialisasi tidak bersifat sekaligus/total, dalam arti merupakan proses yang terus berlangsung, bergerak dari masa kanak-kanak sampai usia tua. Misalnya beberapa norma, seperti peraturan-peraturan dasar mengenai makanan dan makan, disampaikan kepada individu sewaktu ia masih kanak-kanak; beberapa norma lainnya seperti norma pacaran ditangguhkan sampai usia berikutnya (ketika memasuki usia awal remaja). Beberapa lagi yang lain melibatkan pengajaran yang terus-menerus dan dilakukan sepanjang kehidupan manusia. Tanggung jawab sosialisasi biasanya di tangan lembaga atau orang-orang tertentu, tergantung pada aspek-aspek yang harus terlibat. Misalnya, pendidikan agama diarahkan oleh orang tua sejak kanak-kanak dan oleh ustad setempat atau sekolah taman kanak-kanak berbasis agama; pendidikan profesi diberikan oleh para spesialis atau lembaga pendidikan kejuruan ayng berkompeten dalam hal itu, dan lain-lain. Sosialisasi bisa dilakukan dengan sengaja, maupun terjadi secara tidak disadari ketika individu mengambil petunjuk mengenai norma-norma sosial tanpa pengajaran khusus mengenai hal itu.
Ø Sosialisasi Menurut Pemikiran Mead
George Herbert Mead mengemukakan teori sosialisasi yang diuraikan dalam bukunya Mind, Self, Society. Mead mengemukakan tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap yaitu tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other.
Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat-suatu proses yang dinamakannya pengambilan peranan (role taking). Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.

Pada tahap pertama, play stage, merupakan suatu tahap di mana seorang anak mulai belajar mengambil peranan orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang diajlankan orang tuanya atau orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi. Dengan demikian sering dijumpai ketika anak kecil sedang bermain sering meniru peranan yang dijalankan oleh ayah, ibu, kakak, nenek, polisi, dokter, guru dan sebagainya. Namun dalam tahap ini anak belum bisa memahami isi peranan-peranan yang ditirunya. Misalnya seorang anak yang meniru mengenakan dasi kemudian pura-pura berangkat ke kantor, atau seorang yang berpura-pura menjadi polisi, petani, dokter – ia belum memahami mengapa ayah pergi ke kantor, mengapa dokter memeriksa pasien, atau mengapa petani mencangkul.
Pada tahap game stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang haruis dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Contoh yang dikemukakan Mead ialah dalam suatu pertandingan : seorang anak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan orang lain darinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain dalam pertandingan tersebut. Misalnya dalam suatu pertandingan sepak bola seorang pemain bola tahu peranan apa yang sedang ia jalankan, sekaligus juga mengetahui peranan para pemain lain, wasit, penjaga garis dan sebagainya. Menurut Mead pada tahap ini seseorang telah dapat mengambil peranan orang lain.
Pada tahap awal sosialisasi interaksi seorang anak biasnya terbatas pada sejumlah kecil orang lain, biasanya anggota keluarga, terutama ayah ibu. Oleh Mead orang-orang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant others. Pada tahap ketiga seseorang dianggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat, mampu mengambil peran generalized others. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami perannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Selaku anak ia telah memahami peranan yang dijalankan orang tua, selaku siswa ia memahami peranan guru, selaku anggota masyarakat ia memahami peranan para tokoh masyarakat. Menurut Mead orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Dari pendapat Mead tersebut di atas nampak bahwa menurut Mead, diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.
Ø Sosialisasi Menurut Pemikiran Cooley
Pandangan lain yang juga menekankan pada peranan interaksi dalam proses sosialisasi adalah Charles H. Cooley. Menurut Cooley konsep diri (self concept) seseorang berlkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berlkembang melalui interaksi dengan orang lain oleh Cooley diberi nama looking-glass self. Ia menamakannya demikian karena ia melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya, maka menurut Cooley diri seseorang pun memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.
Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilain orang lain terhadap penampilannya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu.
. Untuk memahami pandangan Cooley, bisa dicontohkan di sini seorang mahasiswa yang cenderung memperoleh nilai-nilai rendah (misalnya nilai D atau E) dalam ujian-ujian semesternya, misalnya menganggap para dosen di jurusannya menganggap bodoh. Ia merasa bahwa karena ia dinilai bodoh, maka ia merasa pula para dosen kurang menghargainya. Karena merasa kurang dihargai, mahasiswa tersebut menjadi murung
Jadi di sini perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya mengenai diri sendiri. Diris eseorang merupakan pencerminan dari penilaian orang lain (looking-glass self). Dalam kasusu tersebut di atas, pelecehan oleh dosen ini ada dalam benak si mahasiswa dan mempengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri, terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para dosen memang berperasaan demikian terhadapnya.
Apa yang terjadi bila seseorang tidak mengalami sosialisasi? Seseorang yang ingin berperan sebagai anggota masyarakat - agar seseorang mempunyai diri, maka seseorang tidak dapat berinterkasi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus anak-anak yang tidak disosialisasi (Giden menamakan unsocialized children), yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1990 ditemukan di desa Saint-Serin , Perancis dan kasus gadis berisia tiga belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak berusia satu setengah tahun.
Dari kasus di atas terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air kecil dengan tertib, atau berbicara. Mereka ada yang tidak bisa mengunyah makanan, juga tidak dapat tertawa atau menangis.
Ø Agen Sosialisasi
Agen sosialisasi merupakan fihak-fihak yang melaksanakan sosialisasi. Ada beberapa agen sosialisasi utama yaitu : keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa.
Ø Keluarga
Peran agen sosialisasi pada tahap awal yaitu keluarga, sangat penting. Banyak ahli berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tertentu hanya dapat diajarkan pada periode tertentu saja dalam perkembangan fisik seseorang, artinya proses sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakan terlambat ataupun terlalu dini. Agen sosialisasi keluarga terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Pada sistem keluarga luas agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak dan dapat mencakup nenek, kakek, paman bibi, dan sebagainya.
Arti penting agen sosialisasi pertama terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant onthers pada tahap ini seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan nonverbal, di mana ia berkomunikasi tidak saja melalui pendengaran dan penglihatan tetapi juga melalui pancaindera lain, terutama sentuhan fisik.
Ø Teman bermain
Teman bermain terdiri atas kerabat, tetangga, atau teman sekolah. Pada agen ini seorang anak mulai belajar meibatkan dirinya dengan orang yang sederajat atau sebaya. Pada tahap ini seorang anak memasuki game stage-mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajad. Dalam kelompok bermain pula seorang anak mulai belajar nilai-nilai keadilan.




Ø Sekolah
Dalam agen ini seorang mempelajari beberapa hal baru. Sekolah mempersiapkan untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada oerang tuanya. Menurut Robert Dreben (dalam Sunarto, 2004:25) selain mengajarkan membaca, menulis, berhitung sekolah juga mengajarkan kemandirian (indepence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifisitas (spesificity).
Ø Media Massa
Media massa terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah), dan media elektronik (radio, televisi) diidentifikasi sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh pada perilaku khalayaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan peningkatan kaulitas pesan serta peningkatan frekuensi terpaan pada masyarakat sehingga memberi peluang pada media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting.Pesan-pesan yang ditayangkan bisa mengarahkan khalayak pada perilaku prososial (yang cenderung ke arah baik) dan perilaku antisosial (cenderung ke aras perilaku buruk). Beberapa penayangan adegan kekerasan, pornografi dikhawatirkan bisa meningkatkan perilaku anti sosial seperti kejahatan meningkat, pelanggaran susila dsb.
Ø Pola Sosialisasi
Secara singkat bisa dikatakan menurut Jaeger (dalam Sunarto, 2004:31) bahwa sosialisasi bisa dilakukan melalui cara :
1.      Sosialisasi represif (repressive socialization)
Sosialisasi ini menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Cara ini memeiliki ciri penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non verbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua.
2.      Sosialisasi Partisipatori (partisipatory socialization)
Dalam pola ini anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting.
2.4.                  Jenis Kelamin dan Gender
Ø Pengertian Jenis Kelamin dan Gender 
Jadi gender merupakan konsep tentang sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, sementara ada pula perempuan yang keras, perkasa. Atau bisa dikatakan konsep apa yang membuat seseorang menjadi maskulin atau feminin. Yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya : perempuan dikenal lemah lembut, emosional. laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa.


Ø Sosialisasi Gender
Gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender bukan bawaan sejak lahir, tetapi dipelajari melalui sosialisasi. Oleh karena itu gender dapat berubah.
Kesetaraan gender adalah kondisi yang setara dan seimbang dan sederajad dalam hubungan peran, kedudukan, fungsi, hak, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Cara mewujudkannya ialah dengan menerima perbedaan kodrati individu laki-laki dan perempuan sebagai hikmah; memahami kondisi hidup laki-klaki dan perempuan berbeda bahwa perbedaan itu pada dasarnya karena fungsi kodrati.
Keadilan gender adalah kondisi dan perlakuan yang adil tanpa ada perbedaan dalam hubungan, peran, fungsi, kedudukan, hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Cara mewujudkannya adalah berperilaku adil dan tidak adanya pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan baik di rumah, di tempat kerja maupun di masyarakat.
Ø Keluarga sebagai agen sosilalisasi gender.
Sebagaimana bentuk sosialisasi yg lain, maka sosialisasi gender pun berawal pada keluarga. Keluargalah yg mula-mula mengajarkan seorang anak laki-laki bersikap maskulin, sementara perempuan bersikap feminim. Proses pembelajaran gender (gender learning), yaitu proses pembelajaran feminitas dan maskulinitas yang berlangasung sejak dini, seseorang mempelajari peran gender (gender role) yg oleh masyarakat dianggap sesuai dgn jenis kelaminnya.
Proses sosialisasi peran ke dalam diri perempuan dan laki-laki sejak seseorang dilahirkan. Sejak bayi seorang anak sudah dibiasakan dengan busana yang jenis dan warnanya dibedakan. Bayi laki-laki dengan warna biru, sementara bayi perempuan dengan warna pink atau kuning. Bahkan bayi perempuan kadang-kadang diperlakukan secara lebih ahti0hati daripada bayi laki-laki. Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender adalah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin. Anak perempuan sering diberikan boneka , sementara anak laki-laki diberi mainan pistolan, mobil-mobilan, layang-layang dsb. Meskipun juga anak laki-laki kadang diberi boneka, boneka untuk anak laki-laki diberi semacam hewan yang buas seperti harimau, beruang sementara anak perempuan diberi boneka seperti bebek, kelinci dsb. Sejak kecil juga anak-anak perempuan dibiasakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti memeasak, menyapu, mengepel, menyetrika, mwenjahit, sementara anak alaki-laki diperkenalkan dengan pekerjaan seperti pertukangan, alat berat, perbengkelan dsb. Bahkan buku cerita anakpun menonjolkan tokoh laki-laki adakah sosok ambisi, sementara perempuan dibceritakan sebagai seorang gadis atau ibu yang pasif.
Ø Kelompok Bermain
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dans ikap anak-anak. Sebagai contoh dalam permainan seorang anak laki-laki cenderung emmainkan jenis permainan yang menekankan persainagn., kekuatan fisik, dan keberanian. Sementara anak perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan segi kerjasama. Ketika remaja laki-laki harus senantiasa berani dan agresif terhadap perempuan serta mampu mampu emnerapkan cara untuk dapat ”merebut” dan ”menaklukan” mereka. Sebagai agen sosialisasi kelompok bermainpun menerapka kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati aturannya. Seorang laki-laki yang memilih permainan perempuan akan dicap sebagai ”banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal; serupa dialami oleh anak perempuan yang apabila berorientasi dengan permainan laki-laki akan dicap ”tomboy”.
Ø Sekolah
Sebagai agen sosialisais gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya yaitu kurikulum formal. Misalnya dalam mata pelajaran prakarya kadang siswa dan siswi dipisahkan, dimana siswa laki-laki diberi pelajaran pertukangan sementara siswa perempaun diberi pelajaran di bidang ekonomi ruma tangga, atau menjahit, menyulam dsb. Pembekajaran yang lain adalah melalui buku teks. Sebagai contoh dalam pekerjaan domestik dan publik digambarkan, ”ayah pergi ke kantor, ibu pergi ke pasar” atau ” tono bermain layang-layang, tini bermain boneka”.
Ø Media Massa
Media massa berperan sebagai agen sosialisasi gender melalui sajiannya baik berupa pemberitaan, iklan, film/sinetron. Dalam iklan misalnya seringkali memperkuat stereotipe gender. Sebagai contoh iklan yang mempromosikan produk keperluan rumah tangga seperti sabun cuci, sabun mandi, pasat gigi, minyak goreng, pembasmi serangga, bumbu masak, mi instan cenderung menampilkan peran perempuan sebagi ibu rumah tangga maupun ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan simbol status dan kesuksesan selalu menggunakan model laki-laki dalam iklannya. Meskipun iklan juga seringkali menampilkan perempuan di ranah publik, ettapi sering menekankan pada jenis pekerjaan yang cenderung dilakukan perempuan seperti sebagai resepsionis, pramugari, sekretaris, atau kasir bukan pada jabatan yang berstatus tinggi seperti perseiden direktur bank atau kapten penerbang.
Ø Kekerasan terhadap Perempuan
Dalam interaksinya dengan laki-laki, kaum perempuan sering mengalami berbagai bentuk kekerasan dibanding laki-laki. Ada yang berbentuk perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap pasangan, pelecehan seksual.
Ø Perkosaan
Moore dan Sinclair menyajikan beberapa fakta mengenai perkosaan dimana ini lebih banyak dialmi oleh perempuan. Bahkan di media massa pun banyak dijumpai pemberitaan perkosaan baik yang terjadi di dalam negeri maupun yang dilami oleh para TKW di luar negeri.
Ø Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dalam kehidupan sehari-hari baik alki-laki maupun perempuan mengalami kekerasan di tangan orang dekatmereka , seperti orang tua, kakak, adik, majikan, atau suami/isteri.
Ø Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual (sexual harrassment) didefiniskan sebagai komentar, isyarat, atau kontak fisik yang bersifat seks, diulang-ulang, dan tidak dikehendaki.




2.5.                  Kelompok Sosial
Kelompok.sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Kelahiran Anda pun menandai keanggotaan Anda dalam berbagai kelompok lain. Di samping menjadi anggota keluarga, sebagai seorang bayi yang lahir di suatu desa atau kola Anda menjadi warga salah satu umat agama; warga suatu suku bangsa atau kelompok etnik; warga rukun tetangga, warga rukun kampung dan warga desa atau kola; warga negara RI. Dari hal tersebut jelaslah bahwa tanpa kita sadari sejak lahir hingga ajal kita sebenarnya menjadi anggota berbagai jenis kelompok. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan mengapa para tokoh sosiologi senantiasa mempunyai perhatian besar terhadap gejala pengelompokan manusia.
Ø Klasifikasi Kelompok
Salah satu dampak perubahan jangka panjang yang melanda Eropa Barat dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok dunia ialah terjadinya perubahan dalam pengelompokan anggota masyarakat.
Ø Klasifikasi Bierstedt

usaha untuk mengklasifikasikan jenis kelompok; satu di antaranya ialah klasifikasi dari Robert Bierstedt (1948). Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu :
a.      Organisasi.
b.     hubungan sosial di antara anggota kelompok.
c.      kesadaran jenis.
 Berdasarkan ketiga kriteria tersebut Bierstedt kemudian membedakan empat jenis kelompok; kelompok statistik (statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok sosial (social group), dan kelompok asosiasi (associational group).
Kita akan mulai dengan jenis kelompok ketiga yang memenuhi kriteria tersebut di atas, yaitu kelompok asosiasi. Dalam jenis kelompok ini para anggotanya mempunyai kesadaran jenis; dan menurut Bierstedt (dengan mengutip 'pandangan Maclver) pada kelompok ini dijumpai persamaan.kepentingan pribadi (like interest) maupun kepentingan bersama (common interest). Di samping itu di antara para anggota kelompok asosiasi kita jumpai adanya hubungan social ¬adanya kontak dan komunikasi. Selain itu di antara para anggota dijumpai adanya ikatan organisasi formal. Dari riwayat hidup kita dapat ditelusuri berbagai kelompok asosiasi yang di dalamnya kita menjadi anggota, seperti misalnya Negara RI, sekolah, OSIS, Gerakan Pramuka, fakultas, senat mahasiswa, partai politik, Korps Pegawai Negeri RI, Ikatan Motor Indonesia, dan sebagainya.
Kelompok jenis kedua kelompok sosial merupakan kelompok yang anggotanya mem¬punyai kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lain tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi. Contoh yang disajikan Bierstedt ialah kelompok teman, kerabat dan sebagainya.Kelompok jenis ketiga, kelompok kemasyarakatan, merupakan kelompok yang hanya memenuhi satu persyaratan, yaitu kesadaran akan persamaan di antara mereka. Di dalam kelompok jenis ini belum ada kontak dan komunikasi di antara anggota, dan juga belum ada organisasi. Berbeda dengan kelompok asosiasi, maka menurut Bierstedt kelompok ini dijumpai persamaan kepentingan pribadi tetapi bukan kepentingan bersama. Hasil Sensus Penduduk yang ditakukan Biro Pusat Statistik pada tahun 1990, misalnya, menunjukkan bahwa apabila dikelompokkan menurut jenis kelamin maka penduduk Indonesia terdiri atas 89.448.235 laki-laki dan 89.873.406 perempuan.
Kelompok statistik merupakan kelompok yang tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut di atas kelompok yang tidak merupakan organisasi, tidak ada hubungan sosial antara anggota, dan tidak ada kesadaran jenis. Oleh Bierstedt dikemukakan bahwa kelompok statistik ini hanya ada dalam arti analitis dan merupakan hasil ciptaan para ilmuwan sosial. Contoh yang dapat kita sajikan mengenai kelompok statistik ini ialah, antara lain, pengelompokan sejumlah penduduk berdasarkan usia dengan interval lima tahun yang antara lain dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (0-4 tahun, 5-9 tahun dan seterusnya sampai 75 tahun ke atas). Pada anak-anak yang diketompokkan dalam kategori terendah tersebut (yang kadangkala dinamakan kelompok Balita-¬kelompok usia di bawah lima tahun) maupun dalam kelompok umur berikutnya tidak dijumpai organisasi, kesadaran mengenai keanggotaan dalam kelompok, atau pun hubungan sosial.
Bierstedt mengingatkan kita bahwa di luar klasifikasi ini masih ada kelompok lain yang tidak tercakup. Contoh yang disajikannya ialah kelompok yang memenuhi persyaratan hubungan sosial tetapi tidak mempunyai kesadaran jenis, dan kelompok yang anggotanya bukan per-seorangan melainkan kelompok. Dikemukakannya pula bahwa suatu jenis kelompok dapat beralih menjadi jenis kelompok lain. Contoh mengenai hal ini dapat kita cari dengan mudah: dalam suatu kelompok kemasyarakatan (misalnya: perempuan) dapat berkembang kelompok sosial (misalnya kelompok arisan ibu-ibu) dan kelompok asosiasi (misalnya organisasi perempuan seperti KOWANI atau Dharma Wanita). Kita dapat menyajikan data mengenai jumlah pasangan orang kembar di Indonesia, tetapi di sini pun ada brganisasi formal yang anggotanya terdiri atas orang kembar. Di kalangan para lanjut usia kita (suatu kelompok statistik) ada yang tergabung dalam kelompok asosiasi (seperti PEPABRI atau Warakawuri).
Ø Klasifikasi Merton
Robert K. Merton merupakan salah seorang ahli sosiologi yang banyak menulis mengenai konsep kelompok. Dalam salah satu tulisannya Merton mendefinisikan konsep kelompok secara sosiologi sebagai "a number of people who interact with one another in accord with established patterns.Sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan.Merton menyebutkan tiga kriteria objektif bagi suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai oleh sering terjadinya interaksi. Kedua, pihak yang berinteraksi mendefinisi¬kan diri mereka sebagai anggota. Ketiga, pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang lain sebagai anggota kelompok.
Menurut Merton dengan mengikuti pandangan tokoh sosiologi seperti Znaniecki atau Parsons konsep kelompok harus dibedakan dengan konsep kolektiva (collectivities), yang didefinisikannya sebagai "people who have a sense of solidarity by virtue of sharing common values and who have acquired an attendant sense of moral obligation to fulfill role-expectations" (1965:29S). Dalam definisi ini tidak dijumpai unsur interaksi; kriteria yang ditonjolkan ialah adanya sejumlah orang yang mempunyai solidaritas atas dasar nilai bersama yang dimiliki serta adanya rasa kewajiban moral untuk menjalankan peran yang diharapkan.Konsep lain yang diajukan pula oleh Merton ialah konsep kategori sosial (social categories). Kategori sosial adalah suatu himpunan peran yang mempunyai ciri sama seperti jenis kelamin atau usia. Antara para pendukung peran tersebut tidak terdapat interaksi.
Ø Durkheim: Solidaritas mekanik dan solidaritas organic
Salah seorang ahli sosiologi awal yang secara rinci membahas perbedaan dalam penge¬lompokan ini ialah Durkheim. Dalam bukunya The Division of Labor in Society (1968) ia mem¬bedakan antara kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik, dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai masyarakat yang masih sederhana, yang oleh Durkheim dinamakan segmental. Dalam masyarakat demikian kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup terpisah satu dengan yang lain. Masing¬-masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka masing-masing tanpa memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di luarnya. Masing-masing anggota pada umumnya dapat menjalankan peran yang diperankan oleh anggota lain; pembagian kerja belum berkembang. peran semua anggota sama sehingga ketidakhadiran seorang anggota kelompok tidak mempengaruhi kelangsungan hidup kelompok karena peran anggota tersebut dapat dijalankan orang lain. Dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan ialah persamaan perilaku dan sikap. Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim seluruh warga masyarakat diikat oleh apa yang dinamakannya kesadaran kolektif, hati nurani kolektif (collective conscience) suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstern serta memaksa. Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks¬ masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja yang rind dan dipersatukan oleh kesaling¬tergantungan antarbagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda, dan di antara berbagai peran yang ada terdapat kesalingtergantungan laksana kesalingtergantungan antara bagian suatu organisme biologis. Karena adanya kesalingtergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada kelangsungan hidup masyarakat. Tidak berperannya tentara, misalnya, berarti bahwa masyarakat rentan terhadap serangan dari masyarakat lain; tidak berperannya petani akan mengakibatkan masalah dalam oroduksi dan penyediaan bahan pangan yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat.
Pada masyarakat dengan solidaritas organik in!, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif atau hati nurani kolektif (collective conscience) melainkan kesepakatan yang terjalin di antara berbagai kelompok profesi. Di sini pun hukum yang menonjol bukan lagi hukum pidana, melainkan ikatan hukum perdata. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan bersama maka yang berlaku ialah sanksi restitutif: si pelanggar harus membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian untuk mengembalikan keseimbangan ang telah dilanggarnya.
Ø Tonnies: Gemeinschaft dan Gesellschaft
Tokoh sosiologi klasik lain kali ini dari Jerman yang juga mengulas secara rinci perbedaan pengelompokan dalam masyarakat ialah Ferdinand Tonnies. Dalam bukunya Gemeinschaft und Gesellschaft ia mengadakan pembedaan antara dua jenis kelompok, yang dinamakannya Gemeinschaft dan Gesel/schaft. Menurut Tonies:All intimate, private, and exclusive living together  is understood as life in Gemeinschaft (community). Gesellschatt (society) is public life it is the world itself. In Gemeinschaft with one's family, one lives from birth on, bound to it in weal and woe. One goes into Gesellschaft as on goes into a strange country. Di sini Gemeinschaft digambarkannya sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan eksklusif; suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Tonnies, misalnya, menggambarkan ikatan pernikahan sebagai suatu "Gemeinschaft of life." Ia pun berbicara mengenai suatu Gemeinschaft di bidang rumah tangga, agama, bahasa, adat, yang dipertentangkannya dengan Gesellschaft dibidang ilmu atau perdagangan.
Tonnies membedakan antara tiga jenis Gemeinschaft. Jenis pertama, Gemeinschaft by blood, mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan. Gemeinschaft of place pada dasarnya merupakan ikatan yang berlandaskan kedekatan letak tempat tinggal ser'ta tempat bekerja yang mendorong orang untuk berhubungan secara intim satu dengan yang lain, dan mengacu pada kehidupan bersama di daerah pedesaan. Jenis ketiga, Gemeinschaft of mind, mengacu pada hubungan persahabatan, yang disebabkan oleh persamaan keahlian atau pekerjaan serta pandangan yang mendorong orang untuk saling berhubungan secara teratur. Menurut Tonnies, Gesellschaft merupakan suatu nama dan gejala baru. Gesellschaft dilukis¬kannya sebagai kehidupan publik; sebagai orang yang kebetulan hadir bersama tetapi masing¬masing tetap mandiri. GesellschaR bersifat sementara dan semu. Menurut Tonnies perbedaan yang dijumpai antara kedua macam kelompok ini ialah bahw~ dalam Gemeinschaft individu tetap bersatu meskipun terdapat berbagai faktor yang memisahkan mereka, sedangkan dalam Gesellschaft individu pada dasarnya terpisah kendatipun terdapat banyak faktor pemersatu.
Tonnies mengemukakan bahwa Gemeinschatt ditandai oleh kehidupan organik, sedangkan Gesellschaft ditandai oleh struktur mekanik. Pendapat ini menarik, mengingat bahwa, sebagalmana telah kita lihat di atas, Durkheim menggunakan konsep yang sama untuk menggambarkan ciri kelompok yang berlawanan; menurut Durkheim kelompok segmental justru bersifat mekanik sedangkan solidaritas pada kelompok terdiferensiasi justru bersifat organic.
Ø Cooley: Primary Group
Masalah perubahan dalam kualitas pengelompokan pun menarik perhatian ahli sosiologi dari Amerika. Pada tahun 1909 Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep primary group, yang didefinisikannya sebagai kelompok yang "characterized by intimate face-to-face association and cooperation"kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerja sama tatap muka yang intim. Menurutnya ruang lingkup terpenting dari kelompok primer ini.adalah keluarga, teman bermain pada anak kecil, dan rukun warga serta komunitas pada orang dewasa. Dalam pandangannya pergaulan intim ini menghasilkan terpadunya individu dalam satu kesatuan sehingga dalam banyak hal did seseorang menjadi hidup dan tujuan bersama kelompok. Menurut Cooley keterpaduan, simpati dan identifikasi bersama ini diwujudkan dalam kata.Menurut Ellsworth Faris (1937) kelompok primer dapat dipertentangkan dengan kelompok formal, tidak pribadi, dan berciri kelembagaan. Nama apa yang harus kita berikan bagi kelompok yang tidak merupakan kelompok primer itu? Faris mengemukakan bahwa sejumlah ahli sosiologi telah menciptakan konsep secondary group suatu konsep yang tidak kita jumpai dalam karya Cooley.
Faris melihat bahwa konsep kelompok primer yang diperkenalkan Cooley, yang mengandung unsur tatap muka, pengutamaan pengalaman terdahulu, serta perasaan kebersamaan yang terwujud dalam ungkapan "kita" mengandung berbagai persoalan. Sebagai contoh antara lain dikemukakannya bahwa beberapa orang kerabat yang mempunyai rasa kebersamaan dan keterpaduan namun tinggal di tempat yang berjauhan sehingga hanya dapat berhubungan dengan surat merupakan kelompok primer meskipun mereka tidak dapat berhubungan secara tatap muka. Faris pun mempertanyakan apakah suatu keluarga yang di dalamnya orang tua menindas anak-anak-mereka dapat dinamakan kelompok primer meskipuh syarat tatap muka dipenuhi karena perasaan "kita" yang menandai kebersamaan dan keterpaduan mungkin tidak dijumpai.
Ø Sumner: In-Group dan Out-Group
Suatu klasifikasi lain, yaitu pembedaan antara in-group dan out-group, didasarkan pada konsep in-group yang diperkenalkan oleh W.G. Sumner (1940). Sumner mengemukakan bahwa "masyarakat primitif," yang merupakan kelompok kecil yang tersebar di suatu wilayah, muncul diferensiasi antara kelompok kita (we-group) atau kelompok dalam (in-group) dengan orang lain: kelompok orang lain (others-group) atau kelompok luar (out-groups). Menurut Sumner di kalangan anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan dan kedamaian sedang¬kan hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang clan perampokan. Menurut Sumner selanjutnya, perasaan yang berkembang pada masyarakat modern ialah patriotisme. Meskipun dalam masyarakat modern batas kelompok telah diperluas dan keanggotaan yang dijadikan acuan ialah kewarganegaraan, namun dalam patriotisme kesetiaan pada kelompok dan pimpinan kelompok serta perasaan etnosentrisme tetap dipertahankan. Setiap warga negara diharapkan berkorban untuk negaranya. Dalam pandangan Sumner patriotisme ini bahkan dapat berkembang menjadi chauvinisme.
Ø Merton: Membership group dan Reference group.
Robert K. Merton memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi cara bersikap, menilai maupun bertindak. Kadang-kadang perilaku seseorang tidak meng-acu pada kelompok yang di dalamnya ia menjadi anggota, melainkan pada kelompok lain. Pandangan Merton tercermin dalam kalimat berikut ini:
Reference groups are, in principle, almost innumerable: any of the groups of which one is a member, and these are comparatively few, as well as groups of which one is not a member, and these are, of course, legion, can become points of reference for shaping one's attitudes, evaluations and behavior.
Dari pernyataan Merton ini nampak bahwa kelompok acuan berjumlah sangat banyak, dan mencakup bukan hanya kelompok yang di dalamnya orang menjadi anggota melainkan juga sejumlah besar kelompok yang di dalamnya seseorang tidak menjadi anggota. Kelompok acuan yang berjumlah banyak tersebut menjadi acuan bagi sikap, penilaian dan perilaku seseorang. Merton menekankan bahwa dalam berperilaku dan bersikap seseorang dapat menunjuk-kan konformitas pada kelompok luar (out-group) pada aturan dan nilai kelompok lain. Ini berarti bahwa orang tersebut tidak mengikuti aturan kelompok dalamnya sendiri (nonconformity to the norms of the in-group.Merton pun membahas perubahan kelompok acuan manakala keanggotaan kelompok seseorang berubah. Menurut Merton gejala ini menarik, karena kedua peristiwa tersebut tidak berlangsung pada saat yang bersamaan; perubahan kelompok acuan sering mendahului perubahan keanggotaan kelompok. Seorang siswa kelas 3 SMU, misalnya, dalam berperilaku dan bersikap sering sudah berorientasi pada aturan dan nilai yang berlaku di kalangan perguruan tinggi meskipun secara resmi ia belum berstatus mahasiswa (belum berstatus anggota) dan masih menjadi siswa SMU. Perubahan orientasi yang mendahului perubahan keanggotaan kelompok seperti ini oleh Merton diberi nama sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization). Menurut Merton proses sosialisasi antisipatoris ini mempunyai dua fungsi: membantu diterimanya seseorang dalam kelompok baru, dan membantu penyesuaian anggota baru dalam kelompok yang baru itu.
Ø Parsons: Variabel Pola
Tokoh sosiologi modern, Talcott Parsons, memperkenalkan perangkat variabel pola (pattern variables) yang oleh banyak ahli sosiologi sering dianggap sebagai salah satu sumbangan teoretisnya yang terpenting. Menurut Parsons variabel pola merupakan seperangkat dilema universial yang dihadapi dan harus dipecahkan seorang pelaku dalam setiap situasi sosial. Variabel pola ini memungkinkan dilakukannya perbandingan antara bermacam-macam kelompok, termasuk di dalamnya yang berada dalam kebudayaan lain (pembahasan tentang Parsons ini didasarkan pada Devereux. Parsons mengidentifikasikan lima perangkat dilema: affectivity-affective neutrality, specificity¬diffuseness, universalism-particularism, quality-performance, self-orientation collectivity
orientation. Dikotomi yang pertama, affectivity-affective neutrality mengacu pada dilema antara ada-tidaknya perasaan kasih sayang ataupun kebencian dalam suatu interaksi. Dalam hubungan antara pelaku yang terikat oleh pertalian kekerabatan ataupun ikatan pernikahan, sikap afektif dapat diharapkan; namun dalam hubungan antara atasan dan bawahan, antara guru dan murid, atau antara nasabah dan langganannya yang diharapkan ialah adanya affective neutrality-¬ketiadaan sikap afektif.
Specificity-diffuseness mengacu pada dilema antara kekhususan dan kekaburan. Dalam situasi interaksi antara orang tua dan anak, misalnya, kita sering menjumpai kekaburan (diffuseness); seorang anak yang melakukan kesalahan di suatu bidang tertentu-misalnya memecahkan piring di waktu makan pagi--mungkin akan dimarahi sepanjang hari, walaupun interaksinya dengan orang tuanya tidak ada hubungannya dengan kegiatan makan. Di pihak lain, kita mengharapkan akan menjumpai kekhususan (specificity) dalam situasi sekolah. Seorang siswa SMP yang ditegur guru karena memperoleh nilai buruk dalam ulangan mate-matika, misalnya, pada jam pelajaran berikutnya mungkin dipuji gurunya karena memperoleh nilai baik sekali dalam mata pelajaran biologi. Dilema berikutnya, universalism-particularism, mengacu pada dilema antara dipakai-tidaknya ukuran universal. Universalism diharapkan akan dijumpai, misalnya, di lingkungan sekolah; setiap orang siswa diharapkan memperoleh perlakuan sama dari guru--siapa pun juga akan dipuji bila berprestasi dan dicela bila tidak berprestasi. Dalam situasi keluarga, di pihak lain, sering berlaku perlakuan khusus (particularism); seorang anak sering lebih diutamakan oleh orang tuanya daripada anak lain.Dikotomi quality-performance mengacu pada situasi yang di dalamnya orang harus memutuskan apakah yang penting faktor yang dibawa sejak lahir ataukah suatu perangkat prestasi tertentu. Kalau dalam suatu hubungan faktor yang dibawa sejak lahir seperti jenis kelamin, usia atau hubungan kekerabatan lebih penting, maka hubungan diwarnai oleh kualitas. Namun bilamana dalam suatu hubungan yang dipentingkan ialah prestasi, seperti misatnya hubungan guru atau pelatih olahraga dengan para siswa mereka, maka hubungan tersebut diwarnai oleh prestasi.
Variabel pola terakhir, self-orientation dan collectivity-orientation menitikberatkan pada orientasi pelaku dalam suatu hubungan. Manakala dalam suatu hubungan seseorang berorientasi pada kepentingan diri-sendiri, seperti misalnya pada hubungan perniagaan, maka kita berbicara mengenai orientasi pada dirisendiri. Namun bilamana dalam suatu hubungan dijumpai orientasi pada kepentingan umum, yaitu dalam hal pelaku yang terlibat dalam institusi pelayanan misalnya rohaniwan, dokter, pemadam kebakaran-maka kita berbicara mengenai orientasi pada kolektiva.
Ø Geertz: Priayi, Santri, dan Abangan
Suatu klasifikasi yang digali Geertz dari masyarakat Jawa (khususnya masyarakat suatu kota di Jawa Timur serta daerah pedesaan di sekitarnya) ialah pembedaan antara kaum abangan, santri dan priayi. Meskipun klasifikasi ini banyak dikritik dan gejala yang diamati Geertz pun terjadi pada tahun 50-an dan 60-an sehingga kini telah-banyak berubah, namun pemikiran Geertz ini cukup penting untuk kita ketahui karena sering digunakan para ilmuwan untuk menjelaskan berbagai peristiwa di kala itu--terutama kehidupan politik kita di tahun-tahun menjelang terjadinya tragedi pada tahun 1965 berupa kudeta Gerakan Tiga Puluh September serta epilognya.Menurut Geertz pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan pandangan hidup di antara mereka. Subtradisi abangan yang menurut Geertz diwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional serta kepercayaan pada makhluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang ditandai oleh ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka agama. Subtradisi ketiga, priayi, ditandai pengaruh mistik Hindu-Buddha prakolorrial maupun pengaruh kebudayaan Barat dan dijumpai pada kelompok elite "kerah putih" (white collar elite) yang merupakan bagian dari birokasi pemerintah. Dengan demikian Geertz melihat adanya keterkaitan erat antara ketiga subtradisi ini--abangan, santri dan priayi--dengan tiga lingkungan--desa, pasar dan birokrasi pemerintah. Di tahun 50-an dan 60-an dijumpai suatu pengelompokan yang terdiri atas partai politik yang masing-masing mempunyai organisasi massa sendiri--suatu pengelompokan yang oleh Geertz dinamakan aliran (lihat Geertz, 1959). Di Jawa Geertz mengidentifikasikan empat aliran: PNI, PKI, Masyumi dan NU. Yang menarik ialah bahwa pola aliran tersebut kemudian dikaitkan dengan ketiga subtradisi Geertz; muncul pandangan bahwa ketiga subtradisi tersebut melandasi penge¬lompokan aliran. Menurut pendapat ini aliran berhaluan Islam didukung oleh kaum santri, PNI berintikan kaum priayi, dan PKI didukung oleh kaum abangan.

Sebagaimana telah disebutkan, klasifikasi Geertz telah memancing berbagai reaksi. Harsja W. Bachtiar (1973), misalnya, menemukan beberapa masalah dalam klasifikasi Geertz ini. Harsja Bachtiar antara lain mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas mengemukakan apakah klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya ataukah klasifikasi kelompok. Sebagai klasifikasi kelompok, pembagian Geertz ini menurut Harsja Bachtiar tidak memadai karena besarnya kemungkinan tumpang tindih. Dari segi ketaatan pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang priayi dapat diklasifikasikan sebagai santri atau abangan.
Ø Organisasi Formal
Weber memusatkan perhatian pada organisasi formal dalam masyarakat modem. Menurut¬nya dalam masyarakat modern kita,menjumpai suatu hubungan kekuasaan rasional-legal--suatu sistem jabatan modern (modern officialdom) yang dijumpai baik di bidang pemerintahan maupun di bidang swasta. Sistem jabatan ini dinamakan birokrasi (bureaucracy), yang berarti pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat. Menurut Reinhard Bendix organisasi birokrasi yang disebutkan Weber mengandung sejumlah prinsip (lihat Bendix, 1960:418-419), yaitu:
a.      Urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan.
b.      Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu badan administrative.
c.      Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakan bagian dari suatu herarki wewenang.
d.      Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas.
e.      Para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan laksana milik pribadi.
f.       Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumen tertulis.

Ø Kelompok Formal Dan Kelompok Informal

Suatu gejala yang menarik perhatian banyak ilmuwan sosial ialah adanya keterkaitan antara kelompok formal dan kelompok informal. Segera setelah seseorang menjadi anggota organisasi formal seperti sekolah, urniversitas, perusahaan atau kantor, ia sering mulai menjalin hubungan persahabatan dengan anggota lain dalam organisasi formal tersebut sehingga dalam organisasi formal akan terbentuk berbagai kelompok informal, seperti kelompok teman sebaya, kelompok yang tempat tinggalnya berdekatan, kelompok yang bertugas dalam satu bagian kantor yang sama, kelompok yang lulus dari perguruan tinggi sama, kelompok yang lulus sekolah seangkatan dan sebagainya.

Hubungan antara organisasi formal dan kelompok informal dapat pula kita jumpai dalam bidang pekerjaan. Di satu pihak kita dapat menjumpai studi yang mengungkapkan bahwa hubungan persahabatan antara teman sekerja dapat memperlancar urusan kedinasan. Namun ada pula studi yang memperlihatkan adanya kesenjangan antara tujuan organisasi dengan tujuan kelompok informal; di kalangan sekelompok kaum buruh dapat terjalin kesepakatan untuk menetapkan sasaran produksi yang lebih rendah daripada sasaran produksi yang ditetapkan oleh perusahaan, atau--sebagaimana halnya dengan kasus absensi mahasiswa tersebut di atas--kesepakatan untuk menutupi ketidakhadiran seorang teman yang absen karena tidak masuk kerja, datang terlambat, atau pulang sebelum waktunya.
                                                                



BAB III
PENUTUP

3.1.                  Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah kami uraikan dalam tulisan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.      Bahwa dengan belajar sosiologi, kita mendapat cara bagaimana menyesuaikan diri dalam lingkungan masyarakat, bangsa dan negara.
2.      Dengan belajar sosiologi kita paham apa arti makhluk sosial dan cara menyesuaikannya.
3.      Kita mengenal arti keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara

3.2.                  Saran-Saran

1.      Hendaknya selalu tekun dalam mempelajari suatu hal. Terlebih-lebih dalam mempelajari ilmu sosiologi karena kemarin kita banyak mempelajari pasti kita akan menemukan cara-cara tersendiri yang lebih cepat memahami pelajaran sosiologi.
2.      Kepada para pembaca hendaknya jangan lekas puas dengan apa yang sudha dipelajari karena masih banyak hal-hal yang belum kita ketahui.





                                                                                        



Tidak ada komentar:

Posting Komentar