BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perkembangan Sosiologi merupakan salah satu ciri kehidupan
masyarakat manusia. Kehidupan masyarakat manusia yang dinamis ditandai dengan perubahan-perubahan
sosial dan budaya yang secara jelas dapat terlihat melalui berbagai benda hasil
budaya dan aktivitas-aktivitas kehidupannya. Perubahan sosial budaya yang
dialami manusia dapat dijelaskan sebagai proses penyesuaian hidup manusia
dengan konstelasi yang ada, perubahan sosial dapat dipandang sebagai suatu
variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena
perubahan-perubahan kondisi geografis, kebutuhan materil, komposisi penduduk,
ideologi, dan penemuan-penumuan baru
dalam masyarakat tersebut.
Perubahan yang
dialami manusia bukanlah suatu penyimpangan, karena pandangan tersebut adalah
suatu mitos yang perlu dihilangkan dari pandangan mengenai perubahan.Setiap
perubahan sosial selalu mencakup pula perubahan budaya, dan perubahan budaya
akan mencakup juga perubahan sosial. yang dalam pengembangannya mengandalkan
realita yang terjadi di dalam masyarakat, berkaitan dengan masalah sosial yang
perlu diselesaikan (pandangan awal perkembangan) dan penyesuaian kebutuhan dengan
sumber daya yang ada (pandangan hasil perkembangan). Realita dalam masyarakat
yang terus mengalami perubahan memiliki dimensi perubahan sosial. Sementara
itu, secara keilmuan, pengembangan kajian, penelitian, baik melalui hasil kerja
lapangan (penelitian dan proyek), maupun melalui berbagai kegiatan seminar dan
diskusi.
1.2.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana Sejarah Perkembangan Sosiologi ?
2.
Pokok-Pokok Bahasan Sosiologi ?
3.
Pengertian Sosialisasi Dari para Ahli Sosiologi ?
4.
Pengertian Jenis Kelamin dan Gender ?
1.3.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Sosiologi dan Sosialisasi serta Prakteknya dalam perkembangan kehidupan manusia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Perkembangan Sosiologi
Menurut Berger dan Berger pemikiran
Sosiologi berkembang manakala Masyarakat menghadapi ancaman terhadap hal yang selama ini dianggap sebagai
hal yang memang sudah seharusnya demikian, benar, nyata. yang oleh Berger dan
Berger disebut threats to the
taken-for-grented world. Manakala hal yang selama ini menjadi pegangan
Manusia mengalami krisis, maka mulailah
orang melakukan renungan sosiologi.
L. Laeyendecker pun mengaitkan
kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan berjangka panjang yang melanda
Eropa Barat di Abad pertengahan. Proses perubahan jangka panjang yang di identifikasi
laeyendecker ialah :
1. Tumbuhnya
kapitalisme pada akhir abad ke-15.
2. Perubahan di
bidang Sosial dan Politik.
3. Perubahan
berkenaan dengan repormasi Martin Luther.
4. Meningkatkan
Individualisme.
5. Lahirnya ilmu
pengetahuan modern.
6. Berkembangnya
kepercayaan pada diri sendiri.
Ø Para
Perintis Sosiologi
Biasanya para ahli sosiologi
membedakan antara para perintisawal yang hidup pada abad ke-18 dan 19, dan para
tokoh sosiologi masa kini yang hidup di abad ke-20. Orang yang oleh Lewis Coser
dianggap sebagai pemuka pemikiran sosiologi masters
of sociological thought ialah Saint-Simon, Comte, Spencer, Durkheim,Weber, Marx,
Sorokim, Mead, cooley. Doyle Paul Johnson menyebutkan Comte, Marx, Durtheim, Wiber,
Simmel sebagai tokoh sosiologi klasik (classical
Founders) dan orang seperti Mead, Gopffman, Homans, Thibaut dan Kelly, Blau,
Parsons, Merton, Mills, Dahrendorf, Coser, Collins sebagai penganut perspektif
masa kini.
Dalam kajianya terhadap sejarah
sosiologi L Laeyendecker menyebutkan nama sejumlah tokoh sosiologi seperti
Saint-Simon, Comte, Spencer, Marx, Durkheim, Weber, Mannheim, Cooley, Thomas, Mead, Alex Inkeles berpendapat
bahwa perintis utama sosiologi terdiri atas Comte, Spencer, Durkheim, danWeber.
Ø
Auguste Comte (1798-1857)
Nama “sosiologi” memang merupakan
hasil ciptaan Comte, suatu gabungan antara kata Romawi socius dan kata yunani
logos.
Salah satu sumbangan penting lain
bagi soosiologi, sebagaimana telah di kemukakan Reiss, ialah suatu falsafat
yang mendorong perkembangan sosiologi. Pemikiran ini di utarakan Comte dalam
bukunya : Course de Philosophie Positive. Dalam buku ini Comte menggemukakan
pandangannya mengenai “hukum kemajuan manusia” atau “hukum tiga jenjang”. Menurut pandangan
ini , sejarah manusia akan melewati tiga jenjang yang mendaki: jenjang teologi,
jenjang metafisika, dan jenjang fositif.
Pada jenjang yang pertamama manusia mencoba menjelaskan gejala disekitarnya yang mengacu
pada hal yang bersifat adikodrati, jenjang yang kedua manusia mengacu pada
kekuatan meta fisik atau abstrak, dan
pada jenjang yang ketiga atau terakhir,jenjang positif, penjelasan gejala alam
atau sosial dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah dan didasarkan pada
hukum ilmiah.
Suatu pandangan menarik dari Comte
ialah bahwa sosiologi menurutnya merupakan “Ratu
ilmu-ilmu sosial. Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah
bagaimana sosiologi kedalam dua bagian besar yaitu:
1.
Statika sosial (social statics) kajian terhadap tatanan
sosial.
2.
Dinamika sosial (social dynamics) kejian terhadap kemajuan
dan perubahan sosial.
Ø Karl
Marx (1818-1883)
Karl Marx lahir
di trier, Jerman pada tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi. Pada
tahun 1841. Ia mengikuti studinya di
Universitas Berlin dengan menyelesaikan disertasi berjudul On the Diffferences between the Natural
Philosophy of Democritus and Epicurus.
Sumbangan utama Marx bagi sosiologi
terletak pada teorinya mengenai kelas yang di sajikannya berbagai tulisan
termasuk di dalamnya The Communist Manifesto yang di tulisnya. Bersama
Friedrich Engels. Marx berpandangan bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan
sejarah perjuangan kelas. Menurut Marx perkembangan pembagian kerja dalam
kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda : kelas yang terdiri atas orang
orang yang menguasai alat produksi, yang dinamakan kaum bourgeoisie, yang
mengeksploitasi kelas yang terdiri atas orang yang tidak memiliki alat
produksi, yaitu kaum proletar, menurut Marx pada suatu saat kaum proletar akan
menyadari kepentingan bersama mereka sehingga bersatu dan memberontak. Dan
dalam konflik yang kemudian berlangsung yang oleh Marx dinamakan perjuangan.
Ø Emile
Durkheim (1858-1917)
Durkheim merupakan seorang ilmuwan
yang sangat produktif, Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia
memerlukan solidaritas. Ia membedakan antara
dua tipe utama solidaritas : soolidaritas mekanik, dan solidaritas
organik. Solidaritas mekanik merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan
atas persamaan , menurut Durkheim solidaritas mekanik di jumpai pada masyarakat
yang masih sederhana , masyarakat yang dinamakan “segmental” pada masyarakat
seperti ini belum terdapat pembagian kerja yang berarti : apa yang dapat
dilakukan oleh seorang anggota masyarakat biasanya dapat dilakukan pula oleh
orang lain, dengan demikian tidak terdapat kesalingtergantungan antara kelompok
berbeda, karna masing masing kelompok dapat memenuhu kebutuhannya sendiri dan
masing-masing kelompok pun terpisah satu dengan yang lainya. Tipe solidaritas
yang didasarkan atas kepercayaan dan setia
kawan ini di ikat oleh apa yang
oleh Durkheim dinamakan conscience collective, suatu sistem kepercayaan dan perasaan
yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.
Ø Max
Weber (1864-1920)
Max Weber lahir di Jerman pada
tahun 1864. Ia belajar ilmu hukum di Universitas Berlin dan Universitas
Heidelberg, dan pada tahun 1889 menulis disertasi berjudul A Contribution to the
History of Medieval Business Organizations.Sumbangan Weber yang tidak kalah
pentinganya ialah kajiannya konsep dasar sosiologi. Dalam uraian ini Weber
menyebutkan pula bahwa sosiologi ialah ilmu yang berupaya memehami tindakan
sosial ini nampak dari definisi berikut ini : Sociology is a science whith attempts the interpretive understanding of
social action in order thereby to arrive at a casual explanation of its course
and effects.
Arti penting tulisan ini ialah
bahwa dikemudian hari tulisan ini menjadi acuan bagi dikembangkannya teori
sosiologi yang membahas interaksi sosial. Namun yang perlu juga di kemukakan di
sini ialah bahwa pendekatan sosiologi yang diusulkan Weber dalam tulisan ini
ternyata tidak menjadi tuntunan baginya untuk melihat masyarakat. Tulisan Weber
yang lain seperti bukunya mmengenai Etika Protestan dan Semangat kapitalisme,
mengenai Agama Tionghoa dan sebagainya tidak difokuskan pada interaksi sosial,
melainkan pada masalah berskala besar dan berjangka panjang yang menyangkut
masyarakat serta hubungan antar kelompok dan antar kelas yang terjadi di dalamnya.
2.2.
Pokok-Pokok Bahasan Sosiologi
Pandangan Para Perintis
Ø Entile
Durkheim : Fakta Sosial
Emile Durkheim berpendapat bahwa sosiologi ialah salah satu
Ilmu yang mempelajari fakta sosial (fait sosial). Menurut Durkheim fakta sosial
merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar
individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya.
Ø Max
Weber : Tindakan Sosial
Menurut Weber tidak semua tindakan manusia dapat dianggap
sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial
apabila tindakan tersebut dillakukan dengan mempertimbangkan prilaku orang
lain, dan berorientasi pada prilaku orang lain.
Contoh : Menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri
sendiri, misalnya, itu tidak dapat kita anggap sebagai tindakan sosial. Tapi
menyanyi di kamar mandi dengan maksud menarik perhatian orang lain memang
meruupakan tindakan sosial.
Pandangan Ahli Sosiologi Masa Kini
Ø C.
Wright Mills : The Sociological Imagination
C Wright Mills berpandangan bahwa untuk dapat memahami apa
yang terjadi di dunia maupun apa yang ada dalam diri sendiri manusia memerlukan
apa yang dinamakannya imajinasi sosiologi (sociological imagination). Menurut
Mills sociological imagination ini akan
memungkinkan kita untuk memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan
hubungan antara keduanya.
Ø Peter
Berger
Sosiologi ialah seseorang yang suka bekerja dengan orang
lain, menolong orang lain, melakukan sesuatu untuk orang lain. Menurut Berger seorang
ahli sosiologi bertujuan memahami masyarakat.
2.3.
Sosialisasi
Ø Pengertian
Sosialisasi
Peter L. Berger mencatat adanya
perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain. Berbeda dengan makhluk
lain yang seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak
awal hidupnya. Sementara hewan tidak perlu menentukan misalnya apa yang harus
dimakannya karena hal itu sudah diatur naluri; manusia harus memutuskan apa
yang harus dimakannya dan kebiasannya yang harus selalu ditegakkannya. (Sunarto,
1993:27). Karena keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan
kelompok lain, maka kemudian dijumpai keanekaragaman kebiasaan dalam soal
makanan. Ada kelompok yang makanan pokoknya nasi, roti, sagu, jagung. Kalau
hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling berhubungan karena naluri,
sementara manusia mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan laki-laki dan
perempuan. Kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian
menghasilkan berbagai macam sistem pernikahan yang berbeda satu sama lain.
Kemudian keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut, baik dalam
bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama, politik dan sebagainya haris
dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang
dinamakan sosialisasi.
Berger mendefinisikan sosialisasi
sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of
society”. (proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota
yang berpartisipasi dalam masyarakat). Wright mendefinisikan sosialisasi
sebagai proses ketika individu mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan
menginternalisasikan (sampai tingkat tertentu) norma-norma sosialnya, sehingga
membimbing orang itu untuk memperhitungkan harapan-harapan orang lain.(Wright,
1988:182). Sosialisasi tidak bersifat sekaligus/total, dalam arti merupakan
proses yang terus berlangsung, bergerak dari masa kanak-kanak sampai usia tua.
Misalnya beberapa norma, seperti peraturan-peraturan dasar mengenai makanan dan
makan, disampaikan kepada individu sewaktu ia masih kanak-kanak; beberapa norma
lainnya seperti norma pacaran ditangguhkan sampai usia berikutnya (ketika
memasuki usia awal remaja). Beberapa lagi yang lain melibatkan pengajaran yang
terus-menerus dan dilakukan sepanjang kehidupan manusia. Tanggung jawab
sosialisasi biasanya di tangan lembaga atau orang-orang tertentu, tergantung
pada aspek-aspek yang harus terlibat. Misalnya, pendidikan agama diarahkan oleh
orang tua sejak kanak-kanak dan oleh ustad setempat atau sekolah taman
kanak-kanak berbasis agama; pendidikan profesi diberikan oleh para spesialis
atau lembaga pendidikan kejuruan ayng berkompeten dalam hal itu, dan lain-lain.
Sosialisasi bisa dilakukan dengan sengaja, maupun terjadi secara tidak disadari
ketika individu mengambil petunjuk mengenai norma-norma sosial tanpa pengajaran
khusus mengenai hal itu.
Ø Sosialisasi
Menurut Pemikiran Mead
George Herbert Mead mengemukakan
teori sosialisasi yang diuraikan dalam bukunya Mind, Self, Society. Mead
mengemukakan tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia. Manusia yang baru
lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui
interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri
manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap yaitu tahap play stage, tahap
game stage, dan tahap generalized other.
Menurut Mead setiap anggota baru
masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat-suatu
proses yang dinamakannya pengambilan peranan (role taking). Dalam proses ini
seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta
peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada
dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
Pada tahap pertama, play stage,
merupakan suatu tahap di mana seorang anak mulai belajar mengambil peranan
orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang
diajlankan orang tuanya atau orang dewasa lain dengan siapa ia sering
berinteraksi. Dengan demikian sering dijumpai ketika anak kecil sedang bermain
sering meniru peranan yang dijalankan oleh ayah, ibu, kakak, nenek, polisi,
dokter, guru dan sebagainya. Namun dalam tahap ini anak belum bisa memahami isi
peranan-peranan yang ditirunya. Misalnya seorang anak yang meniru mengenakan
dasi kemudian pura-pura berangkat ke kantor, atau seorang yang berpura-pura
menjadi polisi, petani, dokter – ia belum memahami mengapa ayah pergi ke
kantor, mengapa dokter memeriksa pasien, atau mengapa petani mencangkul.
Pada tahap game stage, seorang anak
tidak hanya telah mengetahui peranan yang haruis dijalankannya, tetapi telah
pula mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia
berinteraksi. Contoh yang dikemukakan Mead ialah dalam suatu pertandingan :
seorang anak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa
yang diharapkan orang lain darinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang
lain yang ikut bermain dalam pertandingan tersebut. Misalnya dalam suatu
pertandingan sepak bola seorang pemain bola tahu peranan apa yang sedang ia
jalankan, sekaligus juga mengetahui peranan para pemain lain, wasit, penjaga
garis dan sebagainya. Menurut Mead pada tahap ini seseorang telah dapat
mengambil peranan orang lain.
Pada tahap awal sosialisasi
interaksi seorang anak biasnya terbatas pada sejumlah kecil orang lain,
biasanya anggota keluarga, terutama ayah ibu. Oleh Mead orang-orang penting
dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant others. Pada tahap ketiga
seseorang dianggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang
lain dalam masyarakat, mampu mengambil peran generalized others. Ia telah mampu
berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami perannya
sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Selaku anak ia
telah memahami peranan yang dijalankan orang tua, selaku siswa ia memahami
peranan guru, selaku anggota masyarakat ia memahami peranan para tokoh
masyarakat. Menurut Mead orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Dari
pendapat Mead tersebut di atas nampak bahwa menurut Mead, diri seseorang
terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.
Ø Sosialisasi
Menurut Pemikiran Cooley
Pandangan lain yang juga menekankan
pada peranan interaksi dalam proses sosialisasi adalah Charles H. Cooley.
Menurut Cooley konsep diri (self concept) seseorang berlkembang melalui
interaksinya dengan orang lain. Diri yang berlkembang melalui interaksi dengan
orang lain oleh Cooley diberi nama looking-glass self. Ia menamakannya demikian
karena ia melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku
orang yang sedang bercermin; kalau cermin memantulkan apa yang terdapat di
depannya, maka menurut Cooley diri seseorang pun memantulkan apa yang
dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.
Cooley berpendapat bahwa looking-glass
self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama seseorang mempunyai
persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikut
seseorang mempunyai persepsi mengenai penilain orang lain terhadap
penampilannya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang
dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu.
. Untuk memahami pandangan Cooley,
bisa dicontohkan di sini seorang mahasiswa yang cenderung memperoleh
nilai-nilai rendah (misalnya nilai D atau E) dalam ujian-ujian semesternya,
misalnya menganggap para dosen di jurusannya menganggap bodoh. Ia merasa bahwa
karena ia dinilai bodoh, maka ia merasa pula para dosen kurang menghargainya.
Karena merasa kurang dihargai, mahasiswa tersebut menjadi murung
Jadi di sini perasaan seseorang
mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya mengenai
diri sendiri. Diris eseorang merupakan pencerminan dari penilaian orang lain
(looking-glass self). Dalam kasusu tersebut di atas, pelecehan oleh dosen ini
ada dalam benak si mahasiswa dan mempengaruhi pandangannya mengenai dirinya
sendiri, terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para dosen memang
berperasaan demikian terhadapnya.
Apa yang terjadi bila seseorang
tidak mengalami sosialisasi? Seseorang yang ingin berperan sebagai anggota
masyarakat - agar seseorang mempunyai diri, maka seseorang tidak dapat
berinterkasi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak
ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus
anak-anak yang tidak disosialisasi (Giden menamakan unsocialized children),
yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1990
ditemukan di desa Saint-Serin , Perancis dan kasus gadis berisia tiga belas
tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap
sejak berusia satu setengah tahun.
Dari kasus di
atas terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku
sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air kecil dengan tertib,
atau berbicara. Mereka ada yang tidak bisa mengunyah makanan, juga tidak dapat
tertawa atau menangis.
Ø Agen
Sosialisasi
Agen sosialisasi
merupakan fihak-fihak yang melaksanakan sosialisasi. Ada beberapa agen
sosialisasi utama yaitu : keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa.
Ø Keluarga
Peran agen
sosialisasi pada tahap awal yaitu keluarga, sangat penting. Banyak ahli
berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tertentu hanya dapat diajarkan pada
periode tertentu saja dalam perkembangan fisik seseorang, artinya proses
sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakan terlambat ataupun terlalu dini.
Agen sosialisasi keluarga terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Pada
sistem keluarga luas agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak dan dapat
mencakup nenek, kakek, paman bibi, dan sebagainya.
Arti penting
agen sosialisasi pertama terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada
tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant onthers pada tahap ini
seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan nonverbal, di mana ia
berkomunikasi tidak saja melalui pendengaran dan penglihatan tetapi juga
melalui pancaindera lain, terutama sentuhan fisik.
Ø Teman
bermain
Teman bermain
terdiri atas kerabat, tetangga, atau teman sekolah. Pada agen ini seorang anak
mulai belajar meibatkan dirinya dengan orang yang sederajat atau sebaya. Pada
tahap ini seorang anak memasuki game stage-mempelajari aturan yang mengatur
peran orang yang kedudukannya sederajad. Dalam kelompok bermain pula seorang
anak mulai belajar nilai-nilai keadilan.
Ø Sekolah
Dalam agen ini
seorang mempelajari beberapa hal baru. Sekolah mempersiapkan untuk penguasaan
peran-peran baru di kemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada
oerang tuanya. Menurut Robert Dreben (dalam Sunarto, 2004:25) selain
mengajarkan membaca, menulis, berhitung sekolah juga mengajarkan kemandirian
(indepence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifisitas
(spesificity).
Ø Media
Massa
Media massa
terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah), dan media elektronik (radio,
televisi) diidentifikasi sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh pada
perilaku khalayaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan peningkatan kaulitas
pesan serta peningkatan frekuensi terpaan pada masyarakat sehingga memberi
peluang pada media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin
penting.Pesan-pesan yang ditayangkan bisa mengarahkan khalayak pada perilaku
prososial (yang cenderung ke arah baik) dan perilaku antisosial (cenderung ke
aras perilaku buruk). Beberapa penayangan adegan kekerasan, pornografi
dikhawatirkan bisa meningkatkan perilaku anti sosial seperti kejahatan
meningkat, pelanggaran susila dsb.
Ø Pola
Sosialisasi
Secara singkat bisa dikatakan
menurut Jaeger (dalam Sunarto, 2004:31) bahwa sosialisasi bisa dilakukan
melalui cara :
1.
Sosialisasi represif (repressive socialization)
Sosialisasi ini menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Cara ini memeiliki ciri penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non verbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua.
Sosialisasi ini menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Cara ini memeiliki ciri penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non verbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua.
2.
Sosialisasi Partisipatori (partisipatory socialization)
Dalam pola ini anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting.
Dalam pola ini anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting.
2.4.
Jenis Kelamin dan
Gender
Ø Pengertian Jenis Kelamin dan Gender
Jadi
gender merupakan konsep tentang sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural yang bisa berubah
sesuai dengan perkembangan zaman. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan
sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional,
lemah lembut, sementara ada pula perempuan yang keras, perkasa. Atau bisa
dikatakan konsep apa yang membuat seseorang menjadi maskulin atau feminin.
Yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan
zaman. Misalnya : perempuan dikenal lemah lembut, emosional. laki-laki dianggap
kuat, rasional, perkasa.
Ø Sosialisasi
Gender
Gender tidak bersifat biologis
melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender bukan bawaan sejak lahir,
tetapi dipelajari melalui sosialisasi. Oleh karena itu gender dapat berubah.
Kesetaraan gender adalah kondisi yang setara dan seimbang dan sederajad dalam hubungan peran, kedudukan, fungsi, hak, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Cara mewujudkannya ialah dengan menerima perbedaan kodrati individu laki-laki dan perempuan sebagai hikmah; memahami kondisi hidup laki-klaki dan perempuan berbeda bahwa perbedaan itu pada dasarnya karena fungsi kodrati.
Kesetaraan gender adalah kondisi yang setara dan seimbang dan sederajad dalam hubungan peran, kedudukan, fungsi, hak, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Cara mewujudkannya ialah dengan menerima perbedaan kodrati individu laki-laki dan perempuan sebagai hikmah; memahami kondisi hidup laki-klaki dan perempuan berbeda bahwa perbedaan itu pada dasarnya karena fungsi kodrati.
Keadilan gender adalah kondisi dan
perlakuan yang adil tanpa ada perbedaan dalam hubungan, peran, fungsi,
kedudukan, hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Cara
mewujudkannya adalah berperilaku adil dan tidak adanya pembedaan perlakuan
antara laki-laki dan perempuan baik di rumah, di tempat kerja maupun di
masyarakat.
Ø Keluarga
sebagai agen sosilalisasi gender.
Sebagaimana
bentuk sosialisasi yg lain, maka sosialisasi gender pun berawal pada keluarga.
Keluargalah yg mula-mula mengajarkan seorang anak laki-laki bersikap maskulin,
sementara perempuan bersikap feminim. Proses pembelajaran gender (gender
learning), yaitu proses pembelajaran feminitas dan maskulinitas yang
berlangasung sejak dini, seseorang mempelajari peran gender (gender role) yg
oleh masyarakat dianggap sesuai dgn jenis kelaminnya.
Proses
sosialisasi peran ke dalam diri perempuan dan laki-laki sejak seseorang
dilahirkan. Sejak bayi seorang anak sudah dibiasakan dengan busana yang jenis
dan warnanya dibedakan. Bayi laki-laki dengan warna biru, sementara bayi
perempuan dengan warna pink atau kuning. Bahkan bayi perempuan kadang-kadang
diperlakukan secara lebih ahti0hati daripada bayi laki-laki. Salah satu media
yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender adalah mainan, yaitu
dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin. Anak perempuan
sering diberikan boneka , sementara anak laki-laki diberi mainan pistolan,
mobil-mobilan, layang-layang dsb. Meskipun juga anak laki-laki kadang diberi boneka,
boneka untuk anak laki-laki diberi semacam hewan yang buas seperti harimau,
beruang sementara anak perempuan diberi boneka seperti bebek, kelinci dsb.
Sejak kecil juga anak-anak perempuan dibiasakan untuk mengerjakan pekerjaan
rumah seperti memeasak, menyapu, mengepel, menyetrika, mwenjahit, sementara
anak alaki-laki diperkenalkan dengan pekerjaan seperti pertukangan, alat berat,
perbengkelan dsb. Bahkan buku cerita anakpun menonjolkan tokoh laki-laki adakah
sosok ambisi, sementara perempuan dibceritakan sebagai seorang gadis atau ibu
yang pasif.
Ø Kelompok
Bermain
Kelompok bermain merupakan agen
sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dans ikap anak-anak.
Sebagai contoh dalam permainan seorang anak laki-laki cenderung emmainkan jenis
permainan yang menekankan persainagn., kekuatan fisik, dan keberanian.
Sementara anak perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan
segi kerjasama. Ketika remaja laki-laki harus senantiasa berani dan agresif
terhadap perempuan serta mampu mampu emnerapkan cara untuk dapat ”merebut” dan
”menaklukan” mereka. Sebagai agen sosialisasi kelompok bermainpun menerapka
kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati aturannya. Seorang laki-laki
yang memilih permainan perempuan akan dicap sebagai ”banci” dan menghadapi
resiko dikucilkan. Hal; serupa dialami oleh anak perempuan yang apabila
berorientasi dengan permainan laki-laki akan dicap ”tomboy”.
Ø Sekolah
Sebagai agen sosialisais gender,
sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya yaitu kurikulum
formal. Misalnya dalam mata pelajaran prakarya kadang siswa dan siswi
dipisahkan, dimana siswa laki-laki diberi pelajaran pertukangan sementara siswa
perempaun diberi pelajaran di bidang ekonomi ruma tangga, atau menjahit,
menyulam dsb. Pembekajaran yang lain adalah melalui buku teks. Sebagai contoh
dalam pekerjaan domestik dan publik digambarkan, ”ayah pergi ke kantor, ibu
pergi ke pasar” atau ” tono bermain layang-layang, tini bermain boneka”.
Ø Media
Massa
Media massa
berperan sebagai agen sosialisasi gender melalui sajiannya baik berupa pemberitaan,
iklan, film/sinetron. Dalam iklan misalnya seringkali memperkuat stereotipe
gender. Sebagai contoh iklan yang mempromosikan produk keperluan rumah tangga
seperti sabun cuci, sabun mandi, pasat gigi, minyak goreng, pembasmi serangga,
bumbu masak, mi instan cenderung menampilkan peran perempuan sebagi ibu rumah
tangga maupun ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang
merupakan simbol status dan kesuksesan selalu menggunakan model laki-laki dalam
iklannya. Meskipun iklan juga seringkali menampilkan perempuan di ranah publik,
ettapi sering menekankan pada jenis pekerjaan yang cenderung dilakukan
perempuan seperti sebagai resepsionis, pramugari, sekretaris, atau kasir bukan
pada jabatan yang berstatus tinggi seperti perseiden direktur bank atau kapten
penerbang.
Ø Kekerasan
terhadap Perempuan
Dalam
interaksinya dengan laki-laki, kaum perempuan sering mengalami berbagai bentuk
kekerasan dibanding laki-laki. Ada yang berbentuk perkosaan, kekerasan dalam
rumah tangga, kekerasan terhadap pasangan, pelecehan seksual.
Ø Perkosaan
Moore dan
Sinclair menyajikan beberapa fakta mengenai perkosaan dimana ini lebih banyak
dialmi oleh perempuan. Bahkan di media massa pun banyak dijumpai pemberitaan
perkosaan baik yang terjadi di dalam negeri maupun yang dilami oleh para TKW di
luar negeri.
Ø Kekerasan
dalam Rumah Tangga
Dalam kehidupan
sehari-hari baik alki-laki maupun perempuan mengalami kekerasan di tangan orang
dekatmereka , seperti orang tua, kakak, adik, majikan, atau suami/isteri.
Ø Pelecehan
Seksual
Pelecehan
seksual (sexual harrassment) didefiniskan sebagai komentar, isyarat, atau
kontak fisik yang bersifat seks, diulang-ulang, dan tidak dikehendaki.
2.5.
Kelompok Sosial
Kelompok.sosial merupakan suatu gejala
yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kegiatan
manusia berlangsung di dalamnya. Kelahiran Anda pun menandai keanggotaan Anda
dalam berbagai kelompok lain. Di samping menjadi anggota keluarga, sebagai
seorang bayi yang lahir di suatu desa atau kola Anda menjadi warga salah satu
umat agama; warga suatu suku bangsa atau kelompok etnik; warga rukun tetangga,
warga rukun kampung dan warga desa atau kola; warga negara RI. Dari hal
tersebut jelaslah bahwa tanpa kita sadari sejak lahir hingga ajal kita
sebenarnya menjadi anggota berbagai jenis kelompok. Oleh sebab itu tidaklah
mengherankan mengapa para tokoh sosiologi senantiasa mempunyai perhatian besar
terhadap gejala pengelompokan manusia.
Ø Klasifikasi
Kelompok
Salah satu dampak perubahan jangka panjang yang melanda Eropa
Barat dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok dunia ialah terjadinya perubahan
dalam pengelompokan anggota masyarakat.
Ø Klasifikasi
Bierstedt
usaha untuk
mengklasifikasikan jenis kelompok; satu di antaranya ialah klasifikasi dari
Robert Bierstedt (1948). Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk membedakan
jenis kelompok, yaitu :
a. Organisasi.
b. hubungan sosial
di antara anggota kelompok.
c. kesadaran jenis.
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut Bierstedt
kemudian membedakan empat jenis kelompok; kelompok statistik (statistical
group), kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok sosial (social
group), dan kelompok asosiasi (associational group).
Kita akan mulai dengan jenis
kelompok ketiga yang memenuhi kriteria tersebut di atas, yaitu kelompok
asosiasi. Dalam jenis kelompok ini para anggotanya mempunyai kesadaran jenis;
dan menurut Bierstedt (dengan mengutip 'pandangan Maclver) pada kelompok ini
dijumpai persamaan.kepentingan pribadi (like interest) maupun kepentingan
bersama (common interest). Di samping itu di antara para anggota kelompok
asosiasi kita jumpai adanya hubungan social ¬adanya kontak dan komunikasi.
Selain itu di antara para anggota dijumpai adanya ikatan organisasi formal.
Dari riwayat hidup kita dapat ditelusuri berbagai kelompok asosiasi yang di
dalamnya kita menjadi anggota, seperti misalnya Negara RI, sekolah, OSIS,
Gerakan Pramuka, fakultas, senat mahasiswa, partai politik, Korps Pegawai
Negeri RI, Ikatan Motor Indonesia, dan sebagainya.
Kelompok jenis kedua kelompok
sosial merupakan kelompok yang anggotanya mem¬punyai kesadaran jenis dan
berhubungan satu dengan yang lain tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi.
Contoh yang disajikan Bierstedt ialah kelompok teman, kerabat dan sebagainya.Kelompok
jenis ketiga, kelompok kemasyarakatan, merupakan kelompok yang hanya memenuhi
satu persyaratan, yaitu kesadaran akan persamaan di antara mereka. Di dalam
kelompok jenis ini belum ada kontak dan komunikasi di antara anggota, dan juga
belum ada organisasi. Berbeda dengan kelompok asosiasi, maka menurut Bierstedt
kelompok ini dijumpai persamaan kepentingan pribadi tetapi bukan kepentingan
bersama. Hasil Sensus Penduduk yang ditakukan Biro Pusat Statistik pada tahun
1990, misalnya, menunjukkan bahwa apabila dikelompokkan menurut jenis kelamin
maka penduduk Indonesia terdiri atas 89.448.235 laki-laki dan 89.873.406
perempuan.
Kelompok statistik merupakan
kelompok yang tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut di atas kelompok yang
tidak merupakan organisasi, tidak ada hubungan sosial antara anggota, dan tidak
ada kesadaran jenis. Oleh Bierstedt dikemukakan bahwa kelompok statistik ini
hanya ada dalam arti analitis dan merupakan hasil ciptaan para ilmuwan sosial.
Contoh yang dapat kita sajikan mengenai kelompok statistik ini ialah, antara
lain, pengelompokan sejumlah penduduk berdasarkan usia dengan interval lima
tahun yang antara lain dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (0-4 tahun, 5-9
tahun dan seterusnya sampai 75 tahun ke atas). Pada anak-anak yang
diketompokkan dalam kategori terendah tersebut (yang kadangkala dinamakan
kelompok Balita-¬kelompok usia di bawah lima tahun) maupun dalam kelompok umur
berikutnya tidak dijumpai organisasi, kesadaran mengenai keanggotaan dalam kelompok,
atau pun hubungan sosial.
Bierstedt mengingatkan kita bahwa
di luar klasifikasi ini masih ada kelompok lain yang tidak tercakup. Contoh
yang disajikannya ialah kelompok yang memenuhi persyaratan hubungan sosial
tetapi tidak mempunyai kesadaran jenis, dan kelompok yang anggotanya bukan
per-seorangan melainkan kelompok. Dikemukakannya pula bahwa suatu jenis
kelompok dapat beralih menjadi jenis kelompok lain. Contoh mengenai hal ini
dapat kita cari dengan mudah: dalam suatu kelompok kemasyarakatan (misalnya:
perempuan) dapat berkembang kelompok sosial (misalnya kelompok arisan ibu-ibu)
dan kelompok asosiasi (misalnya organisasi perempuan seperti KOWANI atau Dharma
Wanita). Kita dapat menyajikan data mengenai jumlah pasangan orang kembar di
Indonesia, tetapi di sini pun ada brganisasi formal yang anggotanya terdiri
atas orang kembar. Di kalangan para lanjut usia kita (suatu kelompok statistik)
ada yang tergabung dalam kelompok asosiasi (seperti PEPABRI atau Warakawuri).
Ø Klasifikasi
Merton
Robert K. Merton
merupakan salah seorang ahli sosiologi yang banyak menulis mengenai konsep
kelompok. Dalam salah satu tulisannya Merton mendefinisikan konsep kelompok
secara sosiologi sebagai "a number of people who interact with one another
in accord with established patterns.Sekelompok orang yang saling berinteraksi
sesuai dengan pola yang telah mapan.Merton menyebutkan tiga kriteria objektif
bagi suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai oleh sering terjadinya
interaksi. Kedua, pihak yang berinteraksi mendefinisi¬kan diri mereka sebagai
anggota. Ketiga, pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang lain sebagai
anggota kelompok.
Menurut Merton dengan
mengikuti pandangan tokoh sosiologi seperti Znaniecki atau Parsons konsep
kelompok harus dibedakan dengan konsep kolektiva (collectivities), yang
didefinisikannya sebagai "people who have a sense of solidarity by virtue
of sharing common values and who have acquired an attendant sense of moral
obligation to fulfill role-expectations" (1965:29S). Dalam definisi ini
tidak dijumpai unsur interaksi; kriteria yang ditonjolkan ialah adanya sejumlah
orang yang mempunyai solidaritas atas dasar nilai bersama yang dimiliki serta
adanya rasa kewajiban moral untuk menjalankan peran yang diharapkan.Konsep lain
yang diajukan pula oleh Merton ialah konsep kategori sosial (social
categories). Kategori sosial adalah suatu himpunan peran yang mempunyai ciri
sama seperti jenis kelamin atau usia. Antara para pendukung peran tersebut
tidak terdapat interaksi.
Ø Durkheim:
Solidaritas mekanik dan solidaritas organic
Salah seorang
ahli sosiologi awal yang secara rinci membahas perbedaan dalam penge¬lompokan
ini ialah Durkheim. Dalam bukunya The Division of Labor in Society (1968) ia
mem¬bedakan antara kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik, dan
kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik
merupakan ciri yang menandai masyarakat yang masih sederhana, yang oleh
Durkheim dinamakan segmental. Dalam masyarakat demikian kelompok manusia
tinggal secara tersebar dan hidup terpisah satu dengan yang lain.
Masing¬-masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka masing-masing tanpa
memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di luarnya. Masing-masing
anggota pada umumnya dapat menjalankan peran yang diperankan oleh anggota lain;
pembagian kerja belum berkembang. peran semua anggota sama sehingga
ketidakhadiran seorang anggota kelompok tidak mempengaruhi kelangsungan hidup
kelompok karena peran anggota tersebut dapat dijalankan orang lain. Dalam
masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan ialah persamaan
perilaku dan sikap. Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim seluruh warga
masyarakat diikat oleh apa yang dinamakannya kesadaran kolektif, hati nurani kolektif
(collective conscience) suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan
kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstern serta memaksa. Solidaritas
organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks¬
masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja yang rind dan dipersatukan oleh
kesaling¬tergantungan antarbagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda, dan
di antara berbagai peran yang ada terdapat kesalingtergantungan laksana
kesalingtergantungan antara bagian suatu organisme biologis. Karena adanya
kesalingtergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan
mengakibatkan gangguan pada kelangsungan hidup masyarakat. Tidak berperannya
tentara, misalnya, berarti bahwa masyarakat rentan terhadap serangan dari
masyarakat lain; tidak berperannya petani akan mengakibatkan masalah dalam
oroduksi dan penyediaan bahan pangan yang dapat mengancam kelangsungan hidup
masyarakat.
Pada masyarakat dengan solidaritas
organik in!, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran
kolektif atau hati nurani kolektif (collective conscience) melainkan
kesepakatan yang terjalin di antara berbagai kelompok profesi. Di sini pun
hukum yang menonjol bukan lagi hukum pidana, melainkan ikatan hukum perdata.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan bersama maka yang berlaku
ialah sanksi restitutif: si pelanggar harus membayar ganti rugi kepada pihak
yang menderita kerugian untuk mengembalikan keseimbangan ang telah
dilanggarnya.
Ø Tonnies:
Gemeinschaft dan Gesellschaft
Tokoh sosiologi
klasik lain kali ini dari Jerman yang juga mengulas secara rinci perbedaan
pengelompokan dalam masyarakat ialah Ferdinand Tonnies. Dalam bukunya
Gemeinschaft und Gesellschaft ia mengadakan pembedaan antara dua jenis
kelompok, yang dinamakannya Gemeinschaft dan Gesel/schaft. Menurut Tonies:All
intimate, private, and exclusive living together is understood as life in Gemeinschaft
(community). Gesellschatt (society) is public life it is the world itself. In
Gemeinschaft with one's family, one lives from birth on, bound to it in weal
and woe. One goes into Gesellschaft as on goes into a strange country. Di sini
Gemeinschaft digambarkannya sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan
eksklusif; suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Tonnies, misalnya,
menggambarkan ikatan pernikahan sebagai suatu "Gemeinschaft of life."
Ia pun berbicara mengenai suatu Gemeinschaft di bidang rumah tangga, agama,
bahasa, adat, yang dipertentangkannya dengan Gesellschaft dibidang ilmu atau
perdagangan.
Tonnies
membedakan antara tiga jenis Gemeinschaft. Jenis pertama, Gemeinschaft by
blood, mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan. Gemeinschaft of place pada
dasarnya merupakan ikatan yang berlandaskan kedekatan letak tempat tinggal
ser'ta tempat bekerja yang mendorong orang untuk berhubungan secara intim satu
dengan yang lain, dan mengacu pada kehidupan bersama di daerah pedesaan. Jenis
ketiga, Gemeinschaft of mind, mengacu pada hubungan persahabatan, yang
disebabkan oleh persamaan keahlian atau pekerjaan serta pandangan yang
mendorong orang untuk saling berhubungan secara teratur. Menurut Tonnies,
Gesellschaft merupakan suatu nama dan gejala baru. Gesellschaft dilukis¬kannya
sebagai kehidupan publik; sebagai orang yang kebetulan hadir bersama tetapi
masing¬masing tetap mandiri. GesellschaR bersifat sementara dan semu. Menurut Tonnies
perbedaan yang dijumpai antara kedua macam kelompok ini ialah bahw~ dalam
Gemeinschaft individu tetap bersatu meskipun terdapat berbagai faktor yang
memisahkan mereka, sedangkan dalam Gesellschaft individu pada dasarnya terpisah
kendatipun terdapat banyak faktor pemersatu.
Tonnies
mengemukakan bahwa Gemeinschatt ditandai oleh kehidupan organik, sedangkan
Gesellschaft ditandai oleh struktur mekanik. Pendapat ini menarik, mengingat
bahwa, sebagalmana telah kita lihat di atas, Durkheim menggunakan konsep yang
sama untuk menggambarkan ciri kelompok yang berlawanan; menurut Durkheim
kelompok segmental justru bersifat mekanik sedangkan solidaritas pada kelompok
terdiferensiasi justru bersifat organic.
Ø Cooley:
Primary Group
Masalah
perubahan dalam kualitas pengelompokan pun menarik perhatian ahli sosiologi
dari Amerika. Pada tahun 1909 Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep
primary group, yang didefinisikannya sebagai kelompok yang "characterized
by intimate face-to-face association and cooperation"kelompok yang
ditandai oleh pergaulan dan kerja sama tatap muka yang intim. Menurutnya ruang
lingkup terpenting dari kelompok primer ini.adalah keluarga, teman bermain pada
anak kecil, dan rukun warga serta komunitas pada orang dewasa. Dalam
pandangannya pergaulan intim ini menghasilkan terpadunya individu dalam satu
kesatuan sehingga dalam banyak hal did seseorang menjadi hidup dan tujuan
bersama kelompok. Menurut Cooley keterpaduan, simpati dan identifikasi bersama
ini diwujudkan dalam kata.Menurut Ellsworth Faris (1937) kelompok primer dapat
dipertentangkan dengan kelompok formal, tidak pribadi, dan berciri kelembagaan.
Nama apa yang harus kita berikan bagi kelompok yang tidak merupakan kelompok
primer itu? Faris mengemukakan bahwa sejumlah ahli sosiologi telah menciptakan
konsep secondary group suatu konsep yang tidak kita jumpai dalam karya Cooley.
Faris melihat
bahwa konsep kelompok primer yang diperkenalkan Cooley, yang mengandung unsur
tatap muka, pengutamaan pengalaman terdahulu, serta perasaan kebersamaan yang
terwujud dalam ungkapan "kita" mengandung berbagai persoalan. Sebagai
contoh antara lain dikemukakannya bahwa beberapa orang kerabat yang mempunyai
rasa kebersamaan dan keterpaduan namun tinggal di tempat yang berjauhan
sehingga hanya dapat berhubungan dengan surat merupakan kelompok primer
meskipun mereka tidak dapat berhubungan secara tatap muka. Faris pun
mempertanyakan apakah suatu keluarga yang di dalamnya orang tua menindas
anak-anak-mereka dapat dinamakan kelompok primer meskipuh syarat tatap muka
dipenuhi karena perasaan "kita" yang menandai kebersamaan dan
keterpaduan mungkin tidak dijumpai.
Ø Sumner:
In-Group dan Out-Group
Suatu
klasifikasi lain, yaitu pembedaan antara in-group dan out-group, didasarkan
pada konsep in-group yang diperkenalkan oleh W.G. Sumner (1940). Sumner
mengemukakan bahwa "masyarakat primitif," yang merupakan kelompok
kecil yang tersebar di suatu wilayah, muncul diferensiasi antara kelompok kita
(we-group) atau kelompok dalam (in-group) dengan orang lain: kelompok orang lain
(others-group) atau kelompok luar (out-groups). Menurut Sumner di kalangan
anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan dan
kedamaian sedang¬kan hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar
cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang clan perampokan. Menurut
Sumner selanjutnya, perasaan yang berkembang pada masyarakat modern ialah
patriotisme. Meskipun dalam masyarakat modern batas kelompok telah diperluas
dan keanggotaan yang dijadikan acuan ialah kewarganegaraan, namun dalam
patriotisme kesetiaan pada kelompok dan pimpinan kelompok serta perasaan
etnosentrisme tetap dipertahankan. Setiap warga negara diharapkan berkorban
untuk negaranya. Dalam pandangan Sumner patriotisme ini bahkan dapat berkembang
menjadi chauvinisme.
Ø Merton:
Membership group dan Reference group.
Robert K. Merton
memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok
tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi
cara bersikap, menilai maupun bertindak. Kadang-kadang perilaku seseorang tidak
meng-acu pada kelompok yang di dalamnya ia menjadi anggota, melainkan pada
kelompok lain. Pandangan Merton tercermin dalam kalimat berikut ini:
Reference groups are, in principle, almost innumerable: any
of the groups of which one is a member, and these are comparatively few, as
well as groups of which one is not a member, and these are, of course, legion,
can become points of reference for shaping one's attitudes, evaluations and
behavior.
Dari pernyataan
Merton ini nampak bahwa kelompok acuan berjumlah sangat banyak, dan mencakup
bukan hanya kelompok yang di dalamnya orang menjadi anggota melainkan juga
sejumlah besar kelompok yang di dalamnya seseorang tidak menjadi anggota.
Kelompok acuan yang berjumlah banyak tersebut menjadi acuan bagi sikap, penilaian
dan perilaku seseorang. Merton menekankan bahwa dalam berperilaku dan bersikap
seseorang dapat menunjuk-kan konformitas pada kelompok luar (out-group) pada
aturan dan nilai kelompok lain. Ini berarti bahwa orang tersebut tidak
mengikuti aturan kelompok dalamnya sendiri (nonconformity to the norms of the
in-group.Merton pun membahas perubahan kelompok acuan manakala keanggotaan
kelompok seseorang berubah. Menurut Merton gejala ini menarik, karena kedua
peristiwa tersebut tidak berlangsung pada saat yang bersamaan; perubahan
kelompok acuan sering mendahului perubahan keanggotaan kelompok. Seorang siswa
kelas 3 SMU, misalnya, dalam berperilaku dan bersikap sering sudah berorientasi
pada aturan dan nilai yang berlaku di kalangan perguruan tinggi meskipun secara
resmi ia belum berstatus mahasiswa (belum berstatus anggota) dan masih menjadi
siswa SMU. Perubahan orientasi yang mendahului perubahan keanggotaan kelompok
seperti ini oleh Merton diberi nama sosialisasi antisipatoris (anticipatory
socialization). Menurut Merton proses sosialisasi antisipatoris ini mempunyai
dua fungsi: membantu diterimanya seseorang dalam kelompok baru, dan membantu
penyesuaian anggota baru dalam kelompok yang baru itu.
Ø Parsons:
Variabel Pola
Tokoh sosiologi
modern, Talcott Parsons, memperkenalkan perangkat variabel pola (pattern
variables) yang oleh banyak ahli sosiologi sering dianggap sebagai salah satu
sumbangan teoretisnya yang terpenting. Menurut Parsons variabel pola merupakan
seperangkat dilema universial yang dihadapi dan harus dipecahkan seorang pelaku
dalam setiap situasi sosial. Variabel pola ini memungkinkan dilakukannya
perbandingan antara bermacam-macam kelompok, termasuk di dalamnya yang berada
dalam kebudayaan lain (pembahasan tentang Parsons ini didasarkan pada Devereux.
Parsons mengidentifikasikan lima perangkat dilema: affectivity-affective
neutrality, specificity¬diffuseness, universalism-particularism,
quality-performance, self-orientation collectivity
orientation. Dikotomi yang pertama, affectivity-affective neutrality mengacu pada dilema antara ada-tidaknya perasaan kasih sayang ataupun kebencian dalam suatu interaksi. Dalam hubungan antara pelaku yang terikat oleh pertalian kekerabatan ataupun ikatan pernikahan, sikap afektif dapat diharapkan; namun dalam hubungan antara atasan dan bawahan, antara guru dan murid, atau antara nasabah dan langganannya yang diharapkan ialah adanya affective neutrality-¬ketiadaan sikap afektif.
Specificity-diffuseness mengacu pada dilema antara kekhususan dan kekaburan. Dalam situasi interaksi antara orang tua dan anak, misalnya, kita sering menjumpai kekaburan (diffuseness); seorang anak yang melakukan kesalahan di suatu bidang tertentu-misalnya memecahkan piring di waktu makan pagi--mungkin akan dimarahi sepanjang hari, walaupun interaksinya dengan orang tuanya tidak ada hubungannya dengan kegiatan makan. Di pihak lain, kita mengharapkan akan menjumpai kekhususan (specificity) dalam situasi sekolah. Seorang siswa SMP yang ditegur guru karena memperoleh nilai buruk dalam ulangan mate-matika, misalnya, pada jam pelajaran berikutnya mungkin dipuji gurunya karena memperoleh nilai baik sekali dalam mata pelajaran biologi. Dilema berikutnya, universalism-particularism, mengacu pada dilema antara dipakai-tidaknya ukuran universal. Universalism diharapkan akan dijumpai, misalnya, di lingkungan sekolah; setiap orang siswa diharapkan memperoleh perlakuan sama dari guru--siapa pun juga akan dipuji bila berprestasi dan dicela bila tidak berprestasi. Dalam situasi keluarga, di pihak lain, sering berlaku perlakuan khusus (particularism); seorang anak sering lebih diutamakan oleh orang tuanya daripada anak lain.Dikotomi quality-performance mengacu pada situasi yang di dalamnya orang harus memutuskan apakah yang penting faktor yang dibawa sejak lahir ataukah suatu perangkat prestasi tertentu. Kalau dalam suatu hubungan faktor yang dibawa sejak lahir seperti jenis kelamin, usia atau hubungan kekerabatan lebih penting, maka hubungan diwarnai oleh kualitas. Namun bilamana dalam suatu hubungan yang dipentingkan ialah prestasi, seperti misatnya hubungan guru atau pelatih olahraga dengan para siswa mereka, maka hubungan tersebut diwarnai oleh prestasi.
orientation. Dikotomi yang pertama, affectivity-affective neutrality mengacu pada dilema antara ada-tidaknya perasaan kasih sayang ataupun kebencian dalam suatu interaksi. Dalam hubungan antara pelaku yang terikat oleh pertalian kekerabatan ataupun ikatan pernikahan, sikap afektif dapat diharapkan; namun dalam hubungan antara atasan dan bawahan, antara guru dan murid, atau antara nasabah dan langganannya yang diharapkan ialah adanya affective neutrality-¬ketiadaan sikap afektif.
Specificity-diffuseness mengacu pada dilema antara kekhususan dan kekaburan. Dalam situasi interaksi antara orang tua dan anak, misalnya, kita sering menjumpai kekaburan (diffuseness); seorang anak yang melakukan kesalahan di suatu bidang tertentu-misalnya memecahkan piring di waktu makan pagi--mungkin akan dimarahi sepanjang hari, walaupun interaksinya dengan orang tuanya tidak ada hubungannya dengan kegiatan makan. Di pihak lain, kita mengharapkan akan menjumpai kekhususan (specificity) dalam situasi sekolah. Seorang siswa SMP yang ditegur guru karena memperoleh nilai buruk dalam ulangan mate-matika, misalnya, pada jam pelajaran berikutnya mungkin dipuji gurunya karena memperoleh nilai baik sekali dalam mata pelajaran biologi. Dilema berikutnya, universalism-particularism, mengacu pada dilema antara dipakai-tidaknya ukuran universal. Universalism diharapkan akan dijumpai, misalnya, di lingkungan sekolah; setiap orang siswa diharapkan memperoleh perlakuan sama dari guru--siapa pun juga akan dipuji bila berprestasi dan dicela bila tidak berprestasi. Dalam situasi keluarga, di pihak lain, sering berlaku perlakuan khusus (particularism); seorang anak sering lebih diutamakan oleh orang tuanya daripada anak lain.Dikotomi quality-performance mengacu pada situasi yang di dalamnya orang harus memutuskan apakah yang penting faktor yang dibawa sejak lahir ataukah suatu perangkat prestasi tertentu. Kalau dalam suatu hubungan faktor yang dibawa sejak lahir seperti jenis kelamin, usia atau hubungan kekerabatan lebih penting, maka hubungan diwarnai oleh kualitas. Namun bilamana dalam suatu hubungan yang dipentingkan ialah prestasi, seperti misatnya hubungan guru atau pelatih olahraga dengan para siswa mereka, maka hubungan tersebut diwarnai oleh prestasi.
Variabel pola
terakhir, self-orientation dan collectivity-orientation menitikberatkan pada
orientasi pelaku dalam suatu hubungan. Manakala dalam suatu hubungan seseorang
berorientasi pada kepentingan diri-sendiri, seperti misalnya pada hubungan
perniagaan, maka kita berbicara mengenai orientasi pada dirisendiri. Namun bilamana
dalam suatu hubungan dijumpai orientasi pada kepentingan umum, yaitu dalam hal
pelaku yang terlibat dalam institusi pelayanan misalnya rohaniwan, dokter,
pemadam kebakaran-maka kita berbicara mengenai orientasi pada kolektiva.
Ø Geertz:
Priayi, Santri, dan Abangan
Suatu
klasifikasi yang digali Geertz dari masyarakat Jawa (khususnya masyarakat suatu
kota di Jawa Timur serta daerah pedesaan di sekitarnya) ialah pembedaan antara
kaum abangan, santri dan priayi. Meskipun klasifikasi ini banyak dikritik dan gejala
yang diamati Geertz pun terjadi pada tahun 50-an dan 60-an sehingga kini
telah-banyak berubah, namun pemikiran Geertz ini cukup penting untuk kita
ketahui karena sering digunakan para ilmuwan untuk menjelaskan berbagai
peristiwa di kala itu--terutama kehidupan politik kita di tahun-tahun menjelang
terjadinya tragedi pada tahun 1965 berupa kudeta Gerakan Tiga Puluh September
serta epilognya.Menurut Geertz pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam
tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan pandangan hidup di antara
mereka. Subtradisi abangan yang menurut Geertz diwarnai berbagai upacara
selamatan, praktik pengobatan tradisional serta kepercayaan pada makhluk halus
dan kekuatan gaib itu terkait pada kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri
yang ditandai oleh ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam
berbagai organisasi sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai di
kalangan pengusaha yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka
agama. Subtradisi ketiga, priayi, ditandai pengaruh mistik Hindu-Buddha
prakolorrial maupun pengaruh kebudayaan Barat dan dijumpai pada kelompok elite
"kerah putih" (white collar elite) yang merupakan bagian dari
birokasi pemerintah. Dengan demikian Geertz melihat adanya keterkaitan erat antara
ketiga subtradisi ini--abangan, santri dan priayi--dengan tiga
lingkungan--desa, pasar dan birokrasi pemerintah. Di tahun 50-an dan 60-an
dijumpai suatu pengelompokan yang terdiri atas partai politik yang
masing-masing mempunyai organisasi massa sendiri--suatu pengelompokan yang oleh
Geertz dinamakan aliran (lihat Geertz, 1959). Di Jawa Geertz
mengidentifikasikan empat aliran: PNI, PKI, Masyumi dan NU. Yang menarik ialah
bahwa pola aliran tersebut kemudian dikaitkan dengan ketiga subtradisi Geertz;
muncul pandangan bahwa ketiga subtradisi tersebut melandasi penge¬lompokan
aliran. Menurut pendapat ini aliran berhaluan Islam didukung oleh kaum santri,
PNI berintikan kaum priayi, dan PKI didukung oleh kaum abangan.
Sebagaimana telah disebutkan, klasifikasi
Geertz telah memancing berbagai reaksi. Harsja W. Bachtiar (1973), misalnya,
menemukan beberapa masalah dalam klasifikasi Geertz ini. Harsja Bachtiar antara
lain mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas mengemukakan apakah
klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya ataukah klasifikasi kelompok.
Sebagai klasifikasi kelompok, pembagian Geertz ini menurut Harsja Bachtiar
tidak memadai karena besarnya kemungkinan tumpang tindih. Dari segi ketaatan
pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang priayi dapat diklasifikasikan
sebagai santri atau abangan.
Ø Organisasi
Formal
Weber memusatkan perhatian pada
organisasi formal dalam masyarakat modem. Menurut¬nya dalam masyarakat modern
kita,menjumpai suatu hubungan kekuasaan rasional-legal--suatu sistem jabatan
modern (modern officialdom) yang dijumpai baik di bidang pemerintahan maupun di
bidang swasta. Sistem jabatan ini dinamakan birokrasi (bureaucracy), yang
berarti pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat. Menurut Reinhard Bendix
organisasi birokrasi yang disebutkan Weber mengandung sejumlah prinsip (lihat
Bendix, 1960:418-419), yaitu:
a.
Urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan.
b.
Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu badan
administrative.
c.
Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakan bagian dari
suatu herarki wewenang.
d.
Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki sarana dan
prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas.
e.
Para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan
laksana milik pribadi.
f.
Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumen
tertulis.
Ø Kelompok
Formal Dan Kelompok Informal
Suatu gejala yang menarik perhatian banyak ilmuwan sosial
ialah adanya keterkaitan antara kelompok formal dan kelompok informal. Segera
setelah seseorang menjadi anggota organisasi formal seperti sekolah,
urniversitas, perusahaan atau kantor, ia sering mulai menjalin hubungan
persahabatan dengan anggota lain dalam organisasi formal tersebut sehingga
dalam organisasi formal akan terbentuk berbagai kelompok informal, seperti
kelompok teman sebaya, kelompok yang tempat tinggalnya berdekatan, kelompok
yang bertugas dalam satu bagian kantor yang sama, kelompok yang lulus dari
perguruan tinggi sama, kelompok yang lulus sekolah seangkatan dan sebagainya.
Hubungan antara organisasi formal dan kelompok informal dapat
pula kita jumpai dalam bidang pekerjaan. Di satu pihak kita dapat menjumpai
studi yang mengungkapkan bahwa hubungan persahabatan antara teman sekerja dapat
memperlancar urusan kedinasan. Namun ada pula studi yang memperlihatkan adanya
kesenjangan antara tujuan organisasi dengan tujuan kelompok informal; di
kalangan sekelompok kaum buruh dapat terjalin kesepakatan untuk menetapkan
sasaran produksi yang lebih rendah daripada sasaran produksi yang ditetapkan
oleh perusahaan, atau--sebagaimana halnya dengan kasus absensi mahasiswa
tersebut di atas--kesepakatan untuk menutupi ketidakhadiran seorang teman yang
absen karena tidak masuk kerja, datang terlambat, atau pulang sebelum waktunya.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan apa
yang telah kami uraikan dalam tulisan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Bahwa dengan belajar sosiologi, kita mendapat cara bagaimana
menyesuaikan diri dalam lingkungan masyarakat, bangsa dan negara.
2.
Dengan belajar sosiologi kita paham apa arti makhluk sosial
dan cara menyesuaikannya.
3.
Kita mengenal arti keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara
3.2.
Saran-Saran
1.
Hendaknya selalu tekun dalam mempelajari suatu hal.
Terlebih-lebih dalam mempelajari ilmu sosiologi karena kemarin kita banyak
mempelajari pasti kita akan menemukan cara-cara tersendiri yang lebih cepat
memahami pelajaran sosiologi.
2.
Kepada para pembaca hendaknya jangan lekas puas dengan apa
yang sudha dipelajari karena masih banyak hal-hal yang belum kita ketahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar