BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah penegakan hukum
merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun
kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin
memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan
hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam
masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang adil.
Kedamaian tersebut dapat
diartikan bahwa di satu pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat
ekstern dan di lain pihak terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi
tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian maka hukum berfungsi untuk
memberikan jaminan bagi seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap
orang lain. Jika kepentingan itu terganggu, maka hukum harus melindunginya,
Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa
membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.
Karakteristik hukum
sebagai kaidah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja dan di mana saja
dalam wilayah negara, tanpa membeda-bedakan. Pada dasarnya hukum itu tidak
berlaku secara diskriminatif, kecuali oknum aparat atau organisasi penegak
hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara
diskriminatif. Akhirnya penegakan hukum tidak mencerminkan adanya kepastian
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
B. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui fungsi hukum yaitu memberikan kedamaian dan ketentraman bagi
masyarakat.
2.
Untuk
mengetahui karakteristik dan kaidah hukum yang berlaku umum untuk semua
masyarakat dan oknum aparat penegak hukum tanpa adanya diskriminasi.
3.
Untuk
memenuhi salah satu tugas mata pelajaran ilmu pengantar hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Sebagai Suatu Sistem
Sistem hukum tidak hanya
mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun
mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure)
yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) dan budaya hukum (legal structure).
Struktur hukum meliputi
badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti
Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan lain-lain. Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma,
peraturan maupun undang-undang.
Budaya hukum meliputi
pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran
nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan
lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana
hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum, sistem
hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di
keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautan. Setiap masyarakat,
negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat
mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu komunitas
memberikan pemikiran yang sama.
Banyak sub budaya dari
suku-suku yang ada, agama, kaya, miskin, penjahat dan polisi mempunyai budaya
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yang paling menonjol adalah
budaya hukum dari orang dalam, yaitu hakim dan penasehat hukum yang bekerja di
dalam sistem hukum itu sendiri, karena sikap mereka membentuk banyak keragaman
dalam sistem hukum. Setidak-tidaknya kesan ini akan mempengaruhi penegakan
hukum dalam masyarakat.
Hukum adalah kontrol
sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan
proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah
perilaku yang buruk. Di sisi lain kontrol sosial adalah jaringan atau aturan
dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku
tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan hukum. Tidak ada cara lain
untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh
aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena
diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau
dalam sistem hukum.
Tetapi kita juga
membutuhkan kontrol sosial terhadap pemerintah, karena tidak dapat kita
pungkiri bahwa tiada kuda tanpa kekang. Begitu juga tiada penguasa dan
aparaturnya yang bebas dari kontrol sosial. Semua tahu ada orang yang berwenang
menyalahgunakan jabatannya, praktek suap dan KKN sering terjadi dalam tirani
birokrat. Maka untuk memperbaiki harus ada kontrol yang dibangun dalam sistim.
Dengan kata lain, hukum mempunyai tugas jauh mengawasi penguasa itu sendiri,
kontrol yang dilakukan terhadap pengontrol. Pemikiran ini berada di balik
pengawasan dan keseimbangan (check and balance) dan di balik Peradilan Tata
Usaha Negara, Inspektur Jenderal, Auditor dan lembaga - lembaga seperti, KPK,
Komisi Judisial. Kesemuanya ini harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk memberantas
segala bentuk penyalahgunaan wewenang dari pihak penguasa.
Hukum akan menjadi
berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat
menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas
hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Dalam
praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada
undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap
orang tidak mematuhi undang-undang dan undang - undang itu akan kehilangan
maknanya. Ketidakefektifan undang - undang cenderung mempengaruhi waktu, sikap
dan kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku
hukum, termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan
hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Hukum tidak identik
dengan undang - undang, jika hukum diidentikkan dengan perundang - undangan,
maka salah satu akibat yang dapat dirasakan adalah jika ada bidang kehidupan
yang belum diatur dalam perundang - undangan, maka hukum akan dikatakan
tertinggal oleh perkembangan masyarakat.
Lebih jauh para penegak
hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap,
kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam
sistim hukum yang berlaku.
B. Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada
prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat, namun
di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk
mencapai suatu keadilan. meskipun demikian tidak dapat kita pungkiri bahwa apa
yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga
sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi
masyarakat. Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan
adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi
kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak.
Kenyataan sosial seperti
ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan
pragmatis, mendahulukan bidang - bidang yang paling mendesak sesuai dengan
tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan
peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan
lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat.
Dengan melalui
pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus
dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan
dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan
kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari
dimensi politik lainnya. Substansi undang - undang sebaiknya disusun secara
taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Perlu kita maklumi bahwa banyak
peraturan undang - undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi
rakyat, bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi
seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu
sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Dalam pelaksanaan penegakan
hukum, keadilan harus diperhatikan. Namun hukum itu tidak identik dengan
keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda - bedakan
siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan
tidak menyamaratakan.
Aristoteles dalam buah
pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai tugas
yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak ia terima.
Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya
membuat adanya keadilan saja (Ethische theorie). Tetapi anggapan semacam ini
tidak mudah dipraktekkan, maklum tidak mungkin orang membuat peraturan hukum
sendiri bagi tiap - tiap manusia, sebab apabila itu dilakukan maka tentu tak
akan habis - habisnya. Sebab itu pula hukum harus membuat peraturan umum, kaidah
hukum tidak diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum
tidak menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat suatu
kualifikasi tertentu yang bersifat abstrak. Pertimbangan tentang hal-hal yang
konkrit diserahkan pada hakim.
C. Nilai-Nilai Dasar Hukum
Berdasarkan anggapan
tersebut di atas maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu
saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat menilai
sahnya suatu hukum dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga
harus memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch mengatakan
bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari
hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian
hukum. Sekalipun ketiga - tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun
di antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena
di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan
yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk
saling bertentangan.
Seandainya kita lebih
cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya,
maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai - nilai keadilan dan kegunaan. Karena
yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang
apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat
adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih
cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan
menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan. Karena yang penting bagi
nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna
bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai
keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan
kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum
ataupun nilai kegunaan. Hal ini disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan
adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum. Dengan
demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau
dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan
selaras antara ketiga nilai tersebut.
Keabsahan berlakunya
hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan merupakan satu
- satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi ketiga
nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas
dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja
dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat.
Dalam menyesuaikan
peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini
melibatkan ketiga nilai dari hukum itu. Oleh karena itu dalam praktek tidak
selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara ketiga nilai tersebut.
Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh tersendiri terhadap
efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat. Misalnya: seorang
pemilik rumah menggugat penyewa rumah ke pengadilan, karena waktu perjanjian
sewa - menyewa telah lewat atau telah berakhir sesuai dengan waktu yang diperjanjikan.
Tetapi penyewa belum dapat mengosongkan rumah tersebut karena alasan belum
mendapatkan rumah sewa yang baru sebagai tempat penampungannya. Ditinjau dari
sudut kepastian hukum, penyewa harus mengosongkan rumah tersebut karena waktu
perjanjian sewa telah lewat sebagaimana yang telah diperjanjikan.
Apakah hal ini,
dirasakan adil kalau si penyewa pada saat itu belum ada rumah lain untuk
menampungnya? Dalam hal ini, hakim dapat memutuskan: memberi kelonggaran
misalnya selama waktu 6 (enam) bulan kepada penyewa untuk mengosongkan rumah
tersebut. Ini merupakan kompromi atau kesebandingan antara nilai kepastian
hukum dengan nilai keadilan, begitu juga nilai manfaat atau kegunaan terasa
juga bagi si penyewa yang harus mengosongkan rumah tersebut.
Adalah lazim bahwa kita
melihat efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya,
sehingga ukuran - ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para
pihak yang mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan hukumnya.
Tetapi sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum itu terlalu
dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Kalau kita bicara
tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah
semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada
umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau
melihat dari sumber hukum yang formil.
Sebagaimana diketahui
undang - undang itu, tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin undang-undang
itu dapat mengatur segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara tuntas.
Adakalanya undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang - undang itu
tidak ada ataupun tidak sempurna. Keadaan ini tentunya menyulitkan bagi hakim
untuk mengadili perkara yang dihadapinya. Namun, dalam menjalankan fungsinya
untuk menegakkan keadilan, maka hakim tentunya tidak dapat membiarkan perkara
tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan sama sekali.
Secara formil yang
menjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakekatnya adalah segala peristiwa
- peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku, atau dengan kata lain dari
mana peraturan - peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk warga
masyarakat yaitu terdiri dari undang - undang, adat, kebiasaan, yurisprudensi,
traktat dan doktrina.
Namun demikian hakim
dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, terpaksa harus melihat sumber -
sumber hukum dalam arti kata material, apabila sumber-sumber hukum dalam arti
formil tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang sedang
diperiksanya. Di sini perlu adanya kemandirian hakim dalam proses menyesuaikan
undang - undang dengan peristiwa yang konkrit. Memfungsikan hakim untuk turut
serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak, atau bertindak
sebagai penemu hukum dalam upaya menegakkan keadilan dan kepastian hukum.
Hakim dalam menyesuaikan
peraturan perundang - undangan dengan suasana konkrit untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran serta kepastian hukum (rechts zekerheid), harus dapat memberi
makna dari isi ketentuan undang - undang serta mencari kejelasan dengan
melakukan penafsiran yang disesuaikan dengan kenyataan. Sehingga undang -
undang itu dapat berlaku konkrit jika dihadapkan dengan peristiwanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem hukum tidak hanya
mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun
mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure).
Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa membeda-bedakan
atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.
B. Saran
Demikian yang dapat kami
paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya
masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi kesempurnaan dalam penulisan makalah.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis pada khususnya dan para pembaca
yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
· Buku-buku
Aveldoorn, van L. J, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Pramita,1986.
Aveldoorn, van L. J, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Pramita,1986.
· Black, Donald, Behavior
of Law, New York, San Fransisco, London: Academic Press, 1976.
· Friedman, Lawrence,
American Law, London: W.W. Norton & Company, 1984.
· Hommes, Van Eikema,
Logika en Rechtsvinding, Tanpa kota: Vrije Universiteit, tanpa tahun.
· Lubis, M. Solly,
Serba-serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1989.
· Mertokusumo, Sudikno,
Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993.
· Rahardjo, Satjipto, Ilmu
Hukum, Bandung : Alumni, 1986.
Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962.
Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962.
· Wignjosoebroto, Soetandyo,
Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1994.
Peraturan dan
Undang-undang
· Republik Indonesia,
Undang-undang Dasar 1945.
· Republik Indonesia,
Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
· Republik Indonesia,
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara Pidana.
Republik Indonesia, Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Republik Indonesia, Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar